JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menindaklanjuti laporan korupsi terkait pemotongan gaji hakim Mahkamah Agung. Salah satunya dengan memeriksa rekening orang-orang yang diduga memiliki harta luar biasa hingga ratusan miliar rupee.​

Hal itu disampaikan pihak pelapor, Ketua Pengawasan Polisi Indonesia (IPW) Sogeng Tegu Santoso dan Koordinator Pasukan Demokrasi Indonesia (TPDI) Petros Celestinos. Menurut keduanya, ada dugaan para terlapor memiliki rekening besar hingga miliaran rupee yang harus diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut seluruh rekening yang dilaporkan. Dugaan dana korupsi dari biaya gaji hakim Mahkamah Agung tahun anggaran 2022-2023 telah dipotong dengan nilai total Rp 138 miliar sebagai tunjangan yang tidak diumumkan.” wartawan pada Senin (14/10/2024).

Lanjutnya, “KPK hanya membandingkan jumlah di rekening dengan hasil Laporan Harta Kekayaan Pejabat Umum (LHKPN) juga bisa dilacak.

Su Gang menjelaskan, pada tahun 2016, salah satu orang yang dilaporkan Komisi Independen Anti Korupsi dalam kasus korupsi pengurangan biaya hakim diperiksa oleh Komisi Independen Anti Korupsi. Su Gang mengatakan, pelapor diketahui memiliki tiga rekening bank yang diduga menyimpan dana.

Lebih lanjut, Thorgan menjelaskan ada tiga kelompok yang terlibat dalam gaji hakim yang kurang. Pemotongan besar-besaran dalam biaya hakim dikatakan telah terjadi di banyak kalangan, mulai dari pejabat senior hingga pemerintah.

Oleh karena itu, IPW, TPDI dan aktivis antikorupsi lainnya menuntut agar pemilihan Ketua MA benar-benar bisa melahirkan calon yang jujur. Hal ini penting untuk menjaga kredibilitas Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan.

Hakim Mahkamah Agung yang melakukan pemungutan suara diminta menghalangi seleksi calon tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi. IPW dan TPDI mengimbau hakim tidak memilih calon Ketua MA yang mempunyai rekam jejak buruk dan diduga korupsi.

Dia menjelaskan: “Calon Ketua Mahkamah Agung yang menanggung beban ketidakpercayaan sosial, terutama mereka yang menginginkan keadilan, dapat memperburuk keadaan Mahkamah Agung. Hal ini terutama berlaku bagi calon yang berpotensi menjadi tersangka, karena mereka dapat mengucapkan kata-kata kotor yang akan menyakiti hati masyarakat. Mahkamah Agung sendiri.

TPDI dan IPW sebelumnya telah melaporkan tindak pidana korupsi terkait pemotongan biaya hakim MA ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Kami telah melaporkan adanya tindak pidana korupsi, yaitu biaya penanganan perkara merupakan hak hakim yang lebih tinggi berdasarkan Undang-Undang Nomor 82 Tahun 2021. Hakim yang lebih tinggi berhak menerima royalti atas persidangan perkara dan dalam jangka waktu 90 hari sejak sidang diambil putusannya. kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso di Gedung KPK, Rabu, 2 Oktober 2024.

Su Gang mengatakan, akibat pemotongan tersebut, hakim Mahkamah Agung hanya menerima 60% dari total tunjangan yang seharusnya mereka terima.​

“Sekitar 14,05% dialokasikan untuk tim pendukung seperti staf, staf junior housekeeping, staf, itu 14,05%. Ada 25,95% yang belum jelas,” ujarnya.

Su Gang menambahkan, penting untuk menindaklanjuti tuduhan pengurangan gaji hakim Mahkamah Agung. Lanjutnya, pasalnya jumlah yang terdaftar dalam dua tahun sudah mencapai puluhan miliar.

“Beda karena ada satu komponen yang mendapat 60% sendiri. Komponen yang tiga susunannya juga beda nilainya. Jadi beda. Tapi kalau kita hitung kasar, perhitungan perkiraan,” jelasnya, “Dua tahun ya kira-kira $90 miliar, dua tahun.”

(Ha)