Masalah gizi buruk pada anak terus menjadi perhatian pemerintah. Untuk itu, Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming menginisiasi program makan siang bergizi gratis untuk sekolah-sekolah di Indonesia.
Gagasan tersebut juga dibenarkan oleh Pusat Penelitian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia (PKGK UI) bersama Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA). Pada bulan Mei dan Juni, lebih dari 1.000 anak SD, TK, dan PAUD menerima makanan bergizi di lima kota yaitu Padang, Sragen, Mempawah, Malang, dan Makassar.
Penelitian ini menguji tiga model penyampaian makanan bergizi, yaitu ready-to-eat (RTE), ready-to-cook (RTC) dan Swakelola. Tujuannya adalah untuk menganalisis efektivitas masing-masing model sambil memantau produksi, kebutuhan nutrisi dan proses distribusi.
Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat PKGK Ui prof. Dr. Dr. Sandra Fikawati, MPH menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan asupan protein hewani anak, kecuali telur, relatif rendah.
“Selain itu, sebanyak 63 persen siswa belum terbiasa membawa bekal. Namun nilai gizi siswa berdasarkan berat dan tinggi badannya tergolong normal berdasarkan standar WHO dan Kementerian Kesehatan,” kata Prof. Fika baru-baru ini bertemu Jaffa dalam konferensi pers makanan bergizi.
Prof. Fika mengatakan, dari ketiga model pemberian makanan bergizi, model Swakelola memiliki tingkat konsumsi siswa tertinggi yaitu sebesar 84%, disusul model Ready Meal Preparation (RTC) sebesar 83%.
“Secara keseluruhan, jumlah anak dengan status gizi buruk mengalami penurunan sebesar 2,8% setelah adanya program. “Program ini telah mampu meningkatkan gizi siswa khususnya protein dan buah-buahan yang penting bagi tumbuh kembang siswa,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR) I Dewa Made Agung menekankan pentingnya kolaborasi multipihak dalam mendukung keberhasilan program gizi. Menurutnya, anak-anak dan orang tua harus diberikan edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi serta pengelolaan sampah makanan.
“Pilot study yang dilakukan JAPFA dan PKGK UI ini dapat menjadi acuan penting penerapan makanan bergizi di sekolah,” ujarnya.
“Studi ini juga menunjukkan bahwa penyusunan kisaran biaya harus disesuaikan dengan daerah. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa produsen memproduksi bahan makanan berkualitas tinggi dan memastikan keamanan dan kebersihan pangan dalam proses produksi untuk memastikan hasil yang optimal. Misalnya daging ayam dari RPH dalam negeri yang memenuhi standar dan memiliki sertifikasi NQF, kata Dewa.
Wilayah yang dicakup dalam penelitian ini diketahui antara lain: SDN 06 di Batang Anai Padang, Sumatera Selatan; SDN 01 Duyungan di Sragen Jawa Tengah; Posyandu Kecamatan Bululawang di Malang, Jawa Timur; SDN 03 Sungai Pinyuh, Mempawah, Kalimantan Barat; dan SD Bugatun Mubarakah dan TK Asoka di Makassar, Sulawesi Selatan.
Selama enam minggu berturut-turut, setiap wilayah diuji selama 10 hari untuk setiap model pemberian pakan, yang kemudian diukur dan dievaluasi indikator kecukupan gizi dan efektivitas pelaksanaannya.
(Singa)