JAKARTA – Jepang kini semakin fokus memperkuat pertahanannya setelah bertahun-tahun mengandalkan bantuan militer Amerika Serikat (AS). Upaya tersebut merupakan respon terhadap perubahan geopolitik di kawasan Asia-Pasifik.

Menurut laporan Teknologi Angkatan Darat, Jepang telah lama menerapkan kebijakan isolasi damai yang pertama kali diterapkan setelah Perang Dunia II, dan kemudian diterapkan secara internal. Namun perubahan situasi keamanan global, seperti bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan besar yang ingin mendominasi kawasan Asia-Pasifik Barat, telah membuat suasana hati Jepang menjadi buruk. Tatanan dunia multilateral yang dipimpin oleh Tiongkok semakin berdampak pada kawasan sehingga mengharuskan Jepang untuk memperkuat pertahanan dan keamanan.

Menurut surat kabar Asia Times, meskipun Jepang telah memperkuat kekuatan militernya dan menduduki peringkat salah satu negara militer terkuat ketujuh di dunia, namun kemampuan tersebut belum mencapai level terbaik. Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah meningkatkan anggaran pertahanannya, membeli dan mengembangkan rudal jarak jauh, menandatangani perjanjian pertahanan dengan beberapa negara dan berencana membentuk Komando Operasi Gabungan. Selain itu, Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) semakin banyak melakukan latihan gabungan dengan Amerika Serikat, Australia, dan mitra lainnya.

Namun, meski ada perbaikan, JSDF masih belum sepenuhnya siap menghadapi perang besar. Masih terdapat kesenjangan dalam organisasi, perlengkapan, komando dan kendali, tingkat kesiapan perlengkapan dan senjata serta kesiapan psikologis tentara untuk berperang. Saat ini, struktur dan kemampuan tempur JSDF tidak cukup untuk menghadapi serangan skala besar, dan masih terdapat kekurangan pasukan cadangan yang siap dikerahkan dalam situasi perang. Kekuatan JSDF

JSDF memiliki keunggulan di beberapa bidang, khususnya Pasukan Bela Diri Maritim Jepang (MSDF), yang mahir dalam peperangan anti-kapal selam, pengawasan maritim dan udara, serta pertahanan rudal. Teknologi canggih yang digunakan MSDF memungkinkan Jepang memantau dan melindungi wilayah perairannya secara efektif. Selain itu, Jepang juga memiliki kemampuan pertahanan udara dan rudal yang penting, terutama dalam menghadapi ancaman rudal dari negara tetangga.

Namun, tantangan terbesar bagi JSDF adalah ketidakmampuannya melakukan operasi gabungan yang melibatkan tiga cabang militer: angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Operasi gabungan ini diperlukan agar seluruh cabang militer dapat bekerja sama. Tanpa kemampuan ini, JSDF akan berfungsi sebagai kekuatan parsial, bukan kekuatan penuh. Jepang menyadari kelemahan ini dan berupaya mengatasinya, meskipun proses ini memerlukan banyak waktu dan sumber daya.

Secara umum kualitas personel JSDF sangat tinggi. Namun, mereka menghadapi tantangan logistik seperti upah rendah, terbatasnya perumahan dan kurangnya dukungan dari elit politik Jepang, yang mempengaruhi motivasi personel dalam misi pertahanan. Selain itu, jumlah personel JSDF masih belum mencukupi.

Dalam upaya menjaga kesiapan dan modernisasi, Jepang bertujuan untuk meningkatkan anggaran pertahanannya menjadi 2% dari PDB. Rencana tersebut bertujuan untuk memperkuat kemampuan jangka panjang, termasuk pengembangan sistem dan teknologi persenjataan canggih, serta pembelian kapal perang yang dilengkapi sistem pertahanan Aegis dan pengembangan sistem rudal antipesawat oleh Amerika Serikat. Jepang juga berencana untuk mempercepat pembelian rudal jelajah Tomahawk dan rudal anti-kapal Tipe-12 yang ditingkatkan.

Untuk mendukung pertahanan yang lebih luas, Jepang juga mengembangkan sistem tak berawak seperti kendaraan amfibi dan drone untuk memberikan dukungan logistik kepada militer. Pemerintah Jepang berencana membentuk kelompok baru di wilayah Barat Daya untuk meningkatkan kemampuan penempatan pasukan. Selain itu, Jepang akan membeli kapal pendukung bergerak dan helikopter angkut untuk meningkatkan mobilitas pasukan.

(menit)