HONG KONG – Tiongkok semakin kesal dengan penggunaan olahraga dan platform lain yang dilakukan Taiwan untuk mendapatkan pengakuan internasional. Taiwan semakin dipandang sebagai entitas independen, terutama setelah keberhasilannya di Olimpiade Paris 2024.
Namun Beijing melihatnya sebagai tantangan langsung terhadap kebijakan “satu Tiongkok”. Penentangan yang berulang kali dilakukan oleh Taiwan, terutama di dalam Partai Progresif Demokratik (DPP) Taiwan, telah meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan.
Sebuah editorial di Taipei Times mengaitkan keberhasilan Olimpiade Paris 2024 dengan upaya DPP dalam mengembangkan Pusat Pelatihan Olahraga Nasional dan berinvestasi di bidang olahraga. Artikel tersebut menyatakan bahwa untuk membangun prestasi olahraga, pemerintah Taiwan berencana membentuk Kementerian Pengembangan Olahraga, seperti yang diusulkan oleh Presiden William Lai Ching-te dan baru-baru ini diumumkan oleh Perdana Menteri Cho Jung-tai.
Media Tiongkok mengkritik langkah tersebut. Media pemerintah Tiongkok seperti Global Times menuduh DPP mempolitisasi olahraga, menyebutnya sebagai strategi yang merugikan diri sendiri yang pada akhirnya akan merugikan atlet Taiwan.
Mengutip The Hong Kong Post, Rabu (2/10/2024), sejumlah analis menilai DPP mendapat reaksi keras karena agresif mempromosikan “nilai-nilai Taiwan” dan malah mempromosikan kompetisi dengan nama “Taiwan” di kompetisi internasional. “Chinese Taipei” sesuai amanat Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Menurut analis yang dikutip dalam Global Times, dorongan DPP untuk meningkatkan kehadiran global Taiwan melalui olahraga adalah bagian dari strategi yang lebih luas untuk menginternasionalkan isu Taiwan. Para analis mengatakan tujuan utamanya adalah memanfaatkan acara olahraga internasional untuk mempercepat agenda “kemerdekaan Taiwan” sekaligus memperluas jejak global Taiwan.
Setelah Taiwan memenangkan Olimpiade Paris 2024, DPP menggunakan keberhasilan tersebut untuk mengadvokasi badan olahraga baru dengan perkiraan anggaran sebesar US$627 juta. Upaya yang secara resmi akan diluncurkan pada tahun 2025 ini juga memicu kekhawatiran Tiongkok terhadap upaya berkelanjutan Taiwan untuk mendorong kemerdekaan melalui cara-cara non-diplomatik.
Model Olimpiade
Tiongkok menanggapi kemenangan Taiwan dengan menegaskan kembali komitmennya terhadap “model Olimpiade”, yang mengharuskan Taiwan berkompetisi dengan nama “Chinese Taipei”. Pada 11 September 2024, Chen Binhua, juru bicara Kantor Urusan Dewan Negara Taiwan, menekankan bahwa model ini diakui secara luas di komunitas olahraga internasional dan sejalan dengan kepentingan Tiongkok daratan dan Taiwan.
Chen menuduh DPP sengaja mempolitisasi olahraga untuk memajukan agenda separatis, dan memperingatkan bahwa tindakan tersebut dapat merusak stabilitas regional.
“Model Olimpiade” ini bukan sekadar protokol olahraga, namun merupakan cerminan dari sikap politik Tiongkok yang lebih luas. Sejalan dengan kebijakan “Satu Tiongkok”, Beijing berupaya mencegah Taiwan memperoleh pengakuan internasional sebagai entitas independen. Upaya Taiwan untuk mengubah citranya dalam persaingan internasional secara langsung menantang kebijakan ini dan memperburuk ketegangan lintas selat. Perselisihan antara DPP Tiongkok dan Taiwan
Perkembangan ini menghidupkan kembali konflik politik yang sudah berlangsung lama antara Beijing dan DPP Taiwan. Sejak DPP berkuasa, ketegangan terus meningkat, dengan Tiongkok berusaha melemahkan partai tersebut dengan mendukung kandidat pro-unifikasi dalam pemilihan umum Taiwan. Terlepas dari upaya terbaik Beijing, DPP berhasil mempertahankan kekuasaan, yang membuat para pemimpin Tiongkok frustrasi.
Terpilihnya kembali Presiden Tsai Ing-wen oleh DPP membawa ketegangan lintas selat menjadi fokus. Setelah gagal mengalahkan DPP secara politik, Beijing semakin fokus pada penguatan upaya internasionalnya, khususnya melalui gerakan simbolis seperti kontes “Taiwan”. Visibilitas global
Ketika Tiongkok terus membatasi partisipasi Taiwan dalam organisasi global, DPP beralih ke olahraga sebagai cara untuk meningkatkan profil internasional Taiwan. Menjelang Olimpiade Paris, Lai Ching-te meminta warga negaranya untuk “menempatkan Taiwan di panggung dunia”, yang memicu perdebatan tentang atlet yang berkompetisi dengan nama “Taiwan”.
Meskipun Taiwan telah menjadi tuan rumah banyak acara olahraga internasional, para kritikus mencatat bahwa kompetisi ini seringkali hanya menarik sejumlah kecil peserta. Namun, DPP melihat keterlibatan asing yang minim sebagai peluang untuk memproyeksikan Taiwan sebagai entitas independen. Strategi ini, meskipun dikritik karena melebih-lebihkan pentingnya Taiwan, tetap menjadi landasan pendekatan internasional DPP. Langkah Tiongkok selanjutnya?
Para ahli memperkirakan bahwa Tiongkok mungkin akan merespons tindakan Taiwan dengan lebih agresif. Beijing, yang telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Taiwan yang bersaing atas namanya sendiri, dapat meningkatkan tekanan terhadap pulau tersebut.
Tiongkok di masa lalu telah menggunakan manuver militer seperti serangan ke wilayah udara Taiwan dan peningkatan kehadiran angkatan laut untuk menegaskan dominasi dan menghalangi gerakan separatis. Tindakan serupa dapat ditingkatkan dalam beberapa bulan mendatang.
Tiongkok, yang frustrasi karena ketidakmampuan politiknya untuk menggulingkan DPP, mungkin mengandalkan unjuk kekuatan militer untuk menegaskan kembali posisinya, kata para ahli.
Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) sebelumnya telah mengadakan latihan militer di dekat Taiwan menyusul perselisihan politik, dan para analis yakin taktik serupa dapat digunakan untuk mengirimkan pesan yang kuat kepada para pemimpin Taiwan. Ketika ketegangan meningkat, hubungan lintas selat kemungkinan akan semakin memburuk, sehingga menimbulkan risiko tidak hanya bagi Taiwan tetapi juga bagi stabilitas regional.
(Aku tidak tahu)