JAKARTA – Wakil Ketua Komite meminta pemerintah menjelaskan kepada masyarakat Indonesia soal kasus tersebut.
Andreas Hugo Pareira mengatakan, Kamis (21/11/2024) “Dalam hal ini pemerintah perlu menjelaskan mekanisme dan prosedur hukum apa yang diberikan Mary Jane kepada pemerintah Filipina,” kata Andreas Hugo Pareira, Kamis (21/11/2024). . ).
Mary Jane dipenjara di Indonesia sejak 2010 karena menyelundupkan 2,6 kilogram heroin. Pekerja asing asal Filipina telah dijatuhi hukuman mati meski upaya terus mencari bantuan hukum.
Setelah permintaannya ditolak Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), kini Mary Jane akan dipulangkan ke Filipina. Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Bapak Yusril Ihza Mahendra, mengatakan Mary Jane tidak dibebaskan tetapi akan dipindahkan melalui kebijakan pemindahan terpidana (detainee transfer).
Berbagai pakar mempertanyakan cara pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menangani pemulangan Mary Jane. Sebab, saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang tentang pemindahan narapidana. Andreas memperhatikan hal yang sama.
Benar dia (Mary Jane) warga negara Filipina, tapi dia melakukan tindak pidana di wilayah hukum Indonesia dan sudah divonis bersalah serta mempunyai akibat hukum tetap, kata anggota DPR asal daerah pemilihan NTT I itu.
Andreas pun mencontohkan kasus serupa yang dialami Schapelle Corby, warga negara Australia yang meminta dideportasi dan menjalani sisa masa hukumannya di negaranya. Saat itu, pemerintah Indonesia menolak karena belum ada undang-undang tentang pemindahan narapidana.
Pemerintah juga beralasan tidak bisa mengekstradisi Corby ke Australia untuk menjalani sisa hukumannya karena kejahatan yang dilakukannya merupakan kejahatan serius terkait narkoba, sama seperti Mary Jane.
Menurut Pak Andreas, ketidaksepakatan pemerintah akan menimbulkan pertanyaan di dunia internasional. Ia pun mendorong pemerintah menunjukkan tegasnya hukum sebagai acuan kebijakan pemerintah terkait pemulangan Mary Jane.
“Dan kalaupun dikirim ke Filipina, apakah kita ada perjanjian ekstradisi dengan Filipina? Setahu saya belum,” tegas Andreas.
“Kalau tidak, lalu bagaimana Mary Jane bisa kembali secara sah? Ini perlu diperjelas karena berkaitan dengan kedaulatan dan kekuatan hukum di negara kita,” lanjutnya.
Pak Andreas memahami bahwa kesepakatan antara Presiden Prabowo dan Presiden Filipina Bongbong Marcos terkait kembalinya Mary Jane ke Filipina merupakan sebuah langkah diplomasi. Namun, ia mengingatkan, langkah diplomasi tidak boleh mengabaikan prinsip hukum yang digunakan di Indonesia.
Tn. Andreas mengatakan, “Langkah-langkah pemindahan narapidana harus didasarkan pada kerangka hukum yang jelas dan konsisten, yang mencerminkan supremasi hukum Indonesia.
Ketua DPR yang membidangi reformasi hukum dan hak asasi manusia (HAM) ini juga menekankan pentingnya Indonesia untuk terus menjadi negara berdaulat berdasarkan supremasi hukum. Jika tidak, Pak Andreas khawatir Indonesia akan kehilangan kredibilitas di mata dunia.
“Dan tentunya kita akan dianggap mengabaikan keadilan jika kita tidak konsisten dan mengeluarkan kebijakan tanpa kejelasan hukum,” ujarnya.
“Ini situasi yang penting bagi kita semua. Sebagai anggota legislatif dan bagian masyarakat, kami mendorong pemerintah untuk terus mengikuti prinsip hukum yang berlaku,” tambah Andreas.
Ia menambahkan, komitmen pemerintah terhadap keadilan hukum akan memastikan Indonesia tetap mendapat kehormatan sebagai negara yang sah dan berdaulat. Andreas meminta pemerintah memberikan penjelasan komprehensif berdasarkan landasan hukum yang jelas terkait kasus Mary Jane.
“Kami ingin memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak melanggar hukum yang ada,” ujarnya.
Pak Andreas mengatakan, “Jangan sampai manfaat diplomasi menimbulkan kekhawatiran terhadap keberadaan dan stabilitas sistem hukum dan keadilan di Indonesia,” kata Andreas.
(dinding)