JAKARTA – Pemerintah akan menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2024. Kebijakan ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Aturan Perpajakan.
Aturannya menyebutkan pajak pertambahan nilai harus dinaikkan secara bertahap. Tarif 11 persen berlaku mulai 1 April 2022, dan tarif 12 persen berlaku mulai 1 Januari 2024.
Namun kenaikan tarif PPN ditolak sebagian kalangan karena dianggap membebani masyarakat. Perlawanan ditunjukkan oleh PDPIP, mahasiswa yang berdemonstrasi dan memberitakan di media sosial.
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) R Haidar Alwi berpandangan, kenaikan tarif PPN merupakan kebijakan rakyat untuk rakyat.
“Tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN yang dipungut dari masyarakat akan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk dan manfaat yang berlipat ganda,” kata R Haidar Alwi, Sabtu (28/12/2024).
Tidak hanya menjaga stabilitas perekonomian negara, pembangunan di berbagai sektor dan kebijakan jangka panjang lainnya. Namun manfaatnya juga bisa dirasakan masyarakat melalui program makan siang bergizi, bantuan sosial, dan insentif sebagai kompensasinya, seperti diskon listrik, pembelian rumah dan lain sebagainya.
“Untuk barang-barang seperti minyak, tepung terigu, dan gula industri, kenaikan PPN ditanggung sektor publik dan yang terpenting, kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, angkutan umum, jasa keuangan, dan apartemen tidak dikenakan PPN. R Haidar Alwi menjelaskan.
Menurutnya, penolakan yang datang dari kelompok tertentu merupakan hal yang wajar. Seiring berjalannya waktu, hal tersebut akan dipahami dan diterima oleh masyarakat dengan terus melakukan sosialisasi dan edukasi.
Kebijakan menaikkan harga atau tarif pajak terancam ditolak. Apalagi kalau PDIP jelas ada oposisi. Buktinya, ketika menjadi partai berkuasa, itu wajar. PDIP mengesahkan undang-undang lalu PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, PDIP menerimanya sekarang hanya karena ditentang, kata R Haidar Alwi.