Boikot terhadap merek-merek besar yang dianggap mendukung Israel semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam konteks konflik Israel-Palestina.

Konsumen di berbagai negara, termasuk Indonesia, bereaksi keras terhadap perusahaan atau merek yang dianggap memiliki hubungan dengan Israel atau mendukung kebijakan kontroversial Israel. Teori komunikasi stimulus-organisme (S-O-R) merupakan salah satu teori klasik dalam psikologi dan komunikasi, dan menarik untuk dikaji dari sudut pandang ini.

Apa itu teori S-O-R?

Onong Ochana Effendi dalam bukunya Science, Communication Theory and Communication Practice menyatakan bahwa teori S-O-R atau stimulus-organism-response adalah kerangka psikologis yang menjelaskan bagaimana rangsangan dari luar mempengaruhi organisme (individu) dan kemudian menghasilkan respon. Dalam konteks komunikasi, teori S-O-R digunakan untuk menjelaskan bagaimana suatu pesan atau pesan yang diterima (stimulus) mempengaruhi penerimaan dan penafsirannya oleh seseorang (organisme), sehingga pada akhirnya memicu suatu tindakan atau tanggapan (response).

Secara umum proses perubahan perilaku menggambarkan suatu proses pembelajaran sosial yang meliputi:

1. Organisme dapat menerima atau menolak suatu stimulus. Jika stimulus tidak diterima atau ditolak berarti tidak dapat efektif mempengaruhi perhatian masyarakat dan hanya bisa berhenti sampai disitu saja. Sebaliknya jika suatu stimulus diterima oleh organisme berarti stimulus tersebut telah mendapat perhatian masyarakat dan mulai berlaku.

2. Jika suatu stimulus menarik perhatian organisme (penerimaan), maka organisme memahaminya dan melanjutkan ke proses berikutnya.

3. Organisme kemudian mengendalikan stimulus tersebut sehingga mempunyai keinginan untuk bertindak atau berperilaku sebagai respons terhadap stimulus tersebut.

4. Terakhir, fasilitas dan lingkungan mendorong tindakan atau perubahan perilaku melalui stimulasi masyarakat.

Fenomena Boikot Merek: Stimulasi Sosial (S) Pesan atau rangsangan yang disebarkan melalui berbagai saluran, khususnya media sosial, menjadi motif utama boikot merek yang pro-Israel. Laporan dan postingan resmi dari aktivis dan influencer menyebarkan pesan tentang perusahaan yang mendukung Israel secara ekonomi dan politik. Ada reaksi tajam terhadap pengumuman bahwa beberapa merek terlibat dalam pendanaan kebijakan yang dianggap menindas di Palestina.

Misalnya, perusahaan besar seperti McDonald’s dan Starbucks, serta beberapa perusahaan fesyen global, sering kali diboikot setelah dituduh menerbitkan pesan-pesan pro-Israel. Media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan cerita boikot dan mendorong dukungan publik terhadap Israel. Namun, tidak semua pesan yang disampaikan berdasarkan fakta akurat.

Menerima pesan: proses dalam organisme (O)

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi cara suatu masyarakat (organisme) memproses suatu pesan atau pesan. Reaksi seseorang terhadap pesan yang disebarluaskan dipengaruhi oleh pandangannya terhadap konflik Israel-Palestina, keyakinan agamanya, nilai-nilai moralnya, dan lingkungan sosialnya.

Isu Palestina seringkali bernuansa religi dan emosional di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Akibatnya, sebagian besar masyarakat menjadi lebih waspada terhadap pesan-pesan pro-Israel. Orang-orang yang benar-benar peduli dengan isu Palestina akan bereaksi dengan marah terhadap pesan dukungan perusahaan terhadap Israel, dengan tindakan seperti memboikot produk-produk merek tersebut.

Respon: Perlawanan sebagai bentuk aksi (kanan)

Hanya setelah proses penafsiran terjadi pada tingkat organisme barulah terjadi reaksi atau tindakan yang sebenarnya. Ketika merek diboikot, pelanggan memilih untuk tidak membeli merek yang tampak pro-Israel. Perlawanan ini terjadi baik secara individu maupun kolektif melalui kampanye media sosial, petisi online, dan bahkan protes di dunia nyata.

Selain itu, kemampuan media sosial untuk menyebarkan pesan telah mempercepat dan memperluas gerakan boikot. Tagar seperti #BoycottIsrael dan #BoycottBrands sering beredar dan menarik perhatian publik. Kampanye boikot ini menargetkan konsumen dan dunia usaha, dan menuntut mereka mengubah kebijakan atau setidaknya memperjelas dukungan mereka terhadap Israel.

Hubungan antara teori S-O-R dan fenomena resistensi

Teori S-O-R membantu menjelaskan bagaimana pesan merek yang pro-Israel dapat memicu boikot massal. Stimulus yang disebarluaskan dalam bentuk berita atau informasi, yang kemudian diolah oleh individu atau organisasi sesuai dengan pandangan dan prinsipnya, sehingga menimbulkan gerakan boikot sebagai tanggapannya. Faktor psikologis, sosial dan budaya yang mempengaruhi cara seseorang mencerna informasi sangat mempengaruhi responnya terhadap rangsangan tersebut.

Kesimpulan Fenomena boikot terhadap merek-merek yang dianggap pro-Israel merupakan respon terhadap pesan dan rangsangan pesan yang disebarkan di berbagai media. Dalam teori komunikasi S-O-R, fenomena ini dapat digambarkan sebagai suatu proses dimana individu atau kelompok (organisasi) menerima rangsangan berupa pesan-pesan yang mendukung merek Israel, yang pada akhirnya memicu boikot.

Keyakinan agama, budaya, dan sosial juga memengaruhi cara masyarakat merespons rangsangan, yang pada akhirnya menyebabkan munculnya gerakan boikot di seluruh dunia.

Pengarang:

Mohammed Alefs Fiqiya Amri Nagara

Mahasiswa magister ilmu komunikasi

Universitas Nasional Pembangunan Veteran (UPN VJ) Jakarta

Disclaimer: Artikel ini hanya mewakili pandangan penulis dan tidak mewakili posisi tim redaksi topindopay.co.id.

(Kanan)