JAKARTA – Zimbabwe merupakan negara berkembang di Afrika Selatan yang memiliki potensi besar di sektor pertanian. Hal ini membuat Zimbabwe menjadi kandidat kuat sebagai keranjang pangan di kawasan. 

Menurut PBB, Zimbabwe juga memiliki peluang besar dalam pengolahan mineral dan produk pertanian untuk meningkatkan nilai tambah.

Secara geografis, Zimbabwe berbatasan dengan Mozambik di timur, Zambia di utara, Botswana dan Namibia di barat, serta Afrika Selatan di selatan. Meskipun tidak memiliki akses langsung ke laut, Zimbabwe memiliki jaringan transportasi jalan raya dan kereta api yang baik; ini memfasilitasi akses ke pelabuhan di Maputo, Beira, Teluk Walvis dan Durban. Lalu apa yang menyebabkan perekonomian Zimbabwe tertinggal?

Zimbabwe yang meluncurkan HSF pada Rabu (23/10/2024), mengalami penurunan ekonomi sejak tahun 1980 dan kemiskinan yang semakin parah. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun itu, Zimbabwe pada awalnya memiliki perekonomian yang sangat maju dengan sektor pertanian, pertambangan dan industri yang kuat. Pemerintahan, di bawah kepemimpinan Robert Mugabe dan partainya ZANU-PF, pada awalnya berfokus pada redistribusi sumber daya, terutama tanah, untuk mengatasi ketidakadilan yang diwarisi dari masa kolonial.

Selama dekade pertama setelah kemerdekaan, Zimbabwe menerapkan kebijakan proteksionis yang sebelumnya diterapkan pada masa pemerintahan Ian Smith di Rhodesia. Kebijakan ini mencakup pengendalian ketat terhadap kredit murah dan pembatasan impor. Tujuannya adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing. 

Pada saat yang sama, negara mengalokasikan anggaran yang besar untuk layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Hal ini berhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya bagi warga kulit hitam yang sebelumnya terpinggirkan.

Namun kebijakan perlindungan ini mempunyai banyak kelemahan. Perlindungan yang berlebihan membuat perusahaan lokal menjadi tidak efisien dan kurang inovatif. Sementara itu, sektor pertanian dan industri besar masih didominasi oleh kaum kulit putih, investasi asing ditekan, dan pasar tenaga kerja masih kaku karena peraturan yang ketat.

Pada awal tahun 1990-an, atas rekomendasi organisasi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, Zimbabwe mulai beralih dari kebijakan proteksionis dan menuju pendekatan ekonomi yang lebih liberal melalui Program Penyesuaian Struktural Ekonomi (ESAP). ESAP bertujuan untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian, mengurangi defisit anggaran dan membuka akses Zimbabwe ke pasar global.

Sayangnya, ESAP gagal karena berbagai alasan. Salah satunya adalah inflasi dan krisis keuangan yang terjadi akibat liberalisasi ekonomi yang dilakukan terlalu cepat tanpa penyediaan infrastruktur yang memadai. Pemotongan subsidi dan pengurangan belanja pemerintah, terutama di sektor sosial seperti kesehatan dan pendidikan, memperburuk situasi masyarakat. Ketidakmampuan banyak perusahaan, yang sebelumnya dilindungi oleh kebijakan proteksionis, untuk bersaing di pasar bebas menyebabkan kebangkrutan dan meningkatnya pengangguran.

Selain itu, Zimbabwe menghadapi masalah eksternal seperti kekeringan parah pada tahun 1992 dan 1995. Hal ini menyebabkan penurunan produksi pertanian sehingga berujung pada krisis pangan. Selain itu, resesi global pada awal tahun 1990an memperburuk situasi dengan menurunkan harga ekspor bahan mentah.

Meskipun terjadi pemulihan ekonomi pada tahun 1996-1997, situasi Zimbabwe kembali memburuk akibat kebijakan populis yang diterapkan oleh pemerintahan Mugabe. Salah satu kebijakannya adalah pembayaran besar-besaran sebesar 4 miliar dolar Zimbabwe (ZWD) kepada veteran perang kemerdekaan pada tahun 1997. Langkah ini meningkatkan inflasi dan menyebabkan Zimbabwe kehilangan dukungan IMF. 

Keterlibatan Zimbabwe dalam Perang Kongo pada tahun 1998 juga memperburuk situasi karena menghabiskan anggaran dan meningkatkan utang negara.

Kebijakan yang paling merusak adalah reformasi pertanian pada tahun 2000. Tanah milik petani kulit putih disita paksa dan dibagikan kepada warga kulit hitam yang diberitahu tidak bisa bertani. Akibatnya, sektor pertanian yang menjadi andalan perekonomian Zimbabwe terpuruk total sehingga menyebabkan krisis pangan dan hilangnya pendapatan ekspor.

Akibat kebijakan-kebijakan ini, Zimbabwe menghadapi sejumlah masalah serius yang menghancurkan kondisi ekonomi dan sosialnya. Salah satu dampak terbesarnya adalah hiperinflasi. Inflasi Zimbabwe mencapai puncaknya pada tahun 2008, mencapai lebih dari 79 miliar persen. Hal ini membuat mata uang Zimbabwe hampir tidak berharga dan menghancurkan daya beli masyarakat.

Selain itu, tingkat pengangguran meningkat secara signifikan karena hancurnya sektor-sektor penting seperti pertanian dan manufaktur. Banyak perusahaan yang tutup, sehingga bisnisnya menyusut. Migrasi massal pekerja terampil, profesional, dan akademisi Zimbabwe ke luar negeri, khususnya ke Afrika Selatan, semakin memperburuk krisis yang disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi.

Terakhir, terjadi pula penurunan besar dalam pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Infrastruktur publik runtuh dan harapan hidup masyarakat berkurang drastis akibat krisis yang berkepanjangan.  

(Ah)