JAKARTA – Kerabat WR Soepratman meminta agar film “WAGE” tidak diputar secara luas di bioskop. Keputusan itu diambil pihak keluarga usai menonton film di Gedung Pusat Film Usmal Ismail pada 26 September.

Dalam keterangan resminya, Ketua Yayasan WR Soepratman Buddy Harry menyampaikan lima pengaduan kepada Ivan Nugroho, Direktur PT Opsid Media. Pandangan yang berlawanan adalah sebagai berikut.

Pertama, di awal film terdapat adegan kekerasan yang diterima WR Soepratman dari ayahnya di bangsal Maester Cornelis. Badi berkata, “Kami menentang penayangan adegan ini karena memberikan kesan bahwa ayah WR Soepratman melakukan kekerasan.”

Menurut Buddy, gagasan tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta sebenarnya. Gambaran situasi keluarga Gaji mengacu pada buku “Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Penciptanya WR Soepratman” karya Oylip Kasansengari terbitan 1967.

“Dia sangat populer dan dihormati di kalangan keluarganya, mungkin karena dia adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarganya. Dia seperti anak emas yang selalu gelisah.” Itu tertulis di dalam buku.

Kedua, adanya misinformasi mengenai upah dan tempat lahir. Buddy Harry menjelaskan, ada legenda Wage lahir di Somongalli dalam adegan pelarian WR Soepratman ke desa Somongalli di Purworegjo pada tahun 1936.​

Menurut kami, ini adalah alarm palsu karena WR Soepratman lahir pada tanggal 9 Maret 1903 di Maester Cornelis, Jatinegara, sekarang Jakarta Timur, kata Buddy Harry dalam keterangannya.​

Ketiga, pihak keluarga menyatakan bahwa kejadian WR Soepratman melarikan diri ke desa Somongari pada tahun 1936 dan diselamatkan warga sekitar tidak terjadi. Faktanya, Tuarastal sempat menginap di rumah ayahnya di Cimahi untuk beristirahat dan berobat.​

Setahun setelah pindah ke Pemalang pada tahun 1936, ia pindah ke Surabaya, di mana ia akhirnya meninggal. Meski adegan ini fiktif, pihak keluarga meyakini sejarah WR Soepratman tidak boleh diputarbalikkan.

Keempat, film “WAGE” sepertinya ingin menggambarkan entitas yang dekat dengan kelompok Islam melalui adegan filosofi “Richiru Arif” WR Soepratman saat menulis lagu “Indonesia Raya.”

Film ini memiliki kutipan berikut: “Gajinya, awas biolanya. Geseknya kayak huruf ‘alif’. Apakah anda lupa arti dari alif? Tolong buatkan lagu untuk negeri ini, benarkah dan persis seperti surat Alif? ”

Bahkan, WR Soepratman terinspirasi menciptakan lagu kebangsaan setelah membaca artikel tentang sayembara yang dimuat di majalah Timboel pada tahun 1926. Oleh karena itu, anggapan yang menyebut upah serupa dengan kelompok agama Islam tidaklah tepat.​

“WR Soepratman sebenarnya lebih nasionalis seperti Soetomo. Soetomo akhirnya meminta WR Soepratman membuatkan lagu untuk partainya, Mars Parindra,” kata Buddy Harry.

5. Skor lagu “Matahari Thaavit” dalam film “WAGE” bukanlah skor asli yang diciptakan oleh WR Soepratman, melainkan karya M. Subchi Azar Tsani. Lagu aslinya dengan tiga kata berima dan notasi unik dimuat dalam buku Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan penulis WR Soe Pratman.

Buddy Harry menegaskan, penggunaan ejaan kata berima yang salah menunjukkan tim produksi kurang melakukan riset sehingga terkesan tidak mengapresiasi karya asli WR Soepratman.

Dalam pernyataan selanjutnya, Badi menilai secara historis banyak terjadi perbedaan pendapat karena produser film WAGE tidak berusaha mencari data valid tentang keluarga WR Soepratman.​

Oleh karena itu, kami keluarga besar WR Sopratman dengan suara bulat memutuskan untuk membatalkan pendistribusian atau pemutaran film WAGE, ujarnya.

Namun larangan tersebut akan dicabut dengan dua syarat. Pertama, tim produksi menambahkan baris berikut: “Film ini bukan film sejarah, melainkan film fiksi sejarah.” Selanjutnya saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga WR Soepratman. *

(SIS)