JAKARTA – Donald Trump akan kembali ke Gedung Putih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 setelah mengalahkan kandidat Partai Demokrat Kamala Harris pada pemilu Selasa (11/5/2024). Salah satu isu yang mendorong pemilih memilih Trump dibandingkan Harris diyakini adalah isu Palestina dan kekejaman Israel di Gaza.
Para pemilih menilai Trump adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan di Timur Tengah antara Israel dan Hamas, serta kekejaman yang dilakukan rezim Zionis terhadap penduduk sipil Palestina.
Perang Israel di Gaza dan dukungan penuh pemerintahan Biden terhadap upaya perang Zionis memungkinkan Trump menampilkan dirinya sebagai alternatif terbaik bagi pemilih Muslim dan Arab yang marah atas pembantaian tersebut. Di sisi lain, Harris yang merupakan cawapres Biden dinilai sebagai bagian dari pemerintahan yang mendukung genosida Israel.
Namun bagaimana posisi Trump terhadap isu Palestina dan Gaza?
Selama kampanyenya, Trump menegaskan bahwa dia yakin kebijakan luar negeri Amerika memerlukan perubahan mendasar. Hal ini juga berkaitan dengan hubungan Amerika Serikat dengan sekutunya, termasuk Israel.
Kurang dari seminggu sebelum pemilu, Trump mengunjungi sebuah restoran Lebanon di Dearborn, sebuah kota Michigan dengan populasi Muslim Arab yang besar. Dia berjanji jika terpilih, dia akan mengupayakan perdamaian di Timur Tengah.
“Anda akan mendapatkan perdamaian di Timur Tengah, tapi tidak dengan para badut yang kini memerintah Amerika Serikat,” kata Trump saat itu, menurut Middle East Eye.
Namun, terlepas dari janjinya, Trump tetap menampilkan dirinya sebagai pembela Israel. Dia mengutuk protes pro-Palestina yang terjadi di jalan-jalan dan di kampus-kampus Amerika dan berjanji akan menindak kritik terhadap Israel jika terpilih kembali.
“Jika Anda membuat saya terpilih, dan Anda benar-benar harus melakukannya… kami akan memundurkan gerakan ini (Kampanye Solidaritas Palestina) ke 25 hingga 30 tahun yang lalu,” kata Trump kepada para donor Yahudi sebelumnya pada pertemuan meja bundar di New York. tahun ini.
Di tengah kekacauan di Timur Tengah dan perang Israel di Gaza dan Lebanon, Trump menampilkan dirinya sebagai orang yang mengubah pendekatan bipartisan Amerika Serikat yang sudah berlangsung puluhan tahun terhadap masalah militer dan diplomatik.
Ketika Trump pertama kali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016, ia membalikkan posisi kebijakannya yang sudah lama dipegangnya mengenai Timur Tengah, dan Israel adalah pusat dari perubahan kebijakan tersebut.
Para ahli mengatakan Trump terus menerima dukungan besar dari gerakan Zionis evangelis Amerika, yang merupakan kekuatan utama dalam politik konservatif dan basis pendukung Trump. Pada masa jabatan pertamanya, Trump mendorong basis pendukungnya dengan berbagai kebijakan yang sangat membantu Israel.
Trump mengakhiri tahun pertamanya menjabat dengan keputusan kebijakan luar negeri yang bersejarah, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan tersebut merupakan penyimpangan dari kebijakan bipartisan yang telah diikuti Amerika Serikat selama beberapa dekade dan telah membuat marah berbagai lapisan masyarakat internasional, termasuk dunia Arab dan Muslim.
Pada bulan Maret 2019, ia menandatangani dekrit yang mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki. Dua juga menarik Amerika Serikat dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB, dengan mengatakan bahwa badan internasional tersebut menunjukkan bias negatif terhadap Israel.
Salah satu inisiatif pro-Israel terbarunya adalah menyatakan bahwa produk-produk dari pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki harus diberi label “Made in Israel.”
Trump juga mengambil langkah-langkah untuk semakin melemahkan kepemimpinan Palestina dengan memotong dana sebesar $200 juta untuk Otoritas Palestina, badan pemerintahan Tepi Barat yang diduduki.
Meskipun Trump tampak berselisih dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ketika ia meninggalkan jabatannya pada tahun 2021, kebijakan yang diambil Trump sebagai presiden AS sangat menguntungkan Israel.
Pada bulan-bulan terakhir kampanyenya, Trump memberikan kritik terbatas terhadap upaya militer Israel di Gaza. Meski begitu, ia tetap memposisikan dirinya sebagai sahabat Israel yang lebih baik dibandingkan Biden atau Harris.
Pandangan masyarakat pemerintahan Biden-Harris terhadap isu Israel dan Palestina juga berkontribusi terhadap hal ini. Meskipun laporan media mengatakan Harris lebih bersimpati kepada Palestina, dia tetap mendukung upaya perang Israel dan mengatakan dia tidak akan mengubah pendekatan Biden terhadap Israel.
Selain itu, sebagian besar keputusan yang diambil Trump mengenai Israel selama masa jabatannya tidak dibatalkan oleh pemerintahan Biden-Harris.
Terpilihnya kembali Trump juga menimbulkan ketakutan di kalangan warga Palestina, yang kini terjebak dalam perang Israel di Gaza dan Tepi Barat. Mereka melihat Trump sebagai “bencana baru” bagi Palestina. Trump tidak memiliki citra yang baik di mata rakyat Palestina dan rakyat Gaza.
Sementara itu, Otoritas Palestina dan kelompok Hamas bersikap skeptis terhadap Trump dan berharap Trump tidak mengulangi kesalahan pemerintahan AS sebelumnya dengan memberikan “dukungan buta” kepada Israel.
“Kami menyerukan Trump untuk belajar dari kesalahan Biden,” kata pejabat Hamas Sami Abu Zuhri kepada Reuters. Abu Zuhri mengatakan Trump akan diuji atas klaimnya bahwa ia dapat mengakhiri perang dalam beberapa jam setelah menjabat sebagai presiden AS.
Mengingat retorika kampanye Trump dan rekam jejaknya selama masa jabatan pertamanya, sulit untuk memprediksi bahwa akan ada perubahan signifikan dalam kebijakan AS mengenai isu-isu Palestina dan Israel, dan ada kemungkinan bahwa situasinya akan menjadi lebih buruk. Namun jika Trump dapat menepati janjinya untuk mengakhiri perang di Gaza, hal ini bisa menjadi titik terang untuk mendorong penyelesaian konflik Israel-Palestina di bawah pemerintahannya.
(batang)