JAKARTA – Anggota DPR RI Selly Andriany Gantina mengkritik tindakan pengurus panti asuhan Yayasan Darussalam An’Nur di Kunciran Indah, Kota Tangerang yang melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah anak pengasuhannya. Ia juga meminta agar predator seksual tersebut mendapat hukuman maksimal dengan pemberatan.
“Memang perbuatan pelakunya biadab! Harus dihukum seberat-beratnya,” kata Selly Andriany Gantina, Jumat (10/11/2024).
Seperti diketahui, Ketua Yayasan Panti Asuhan Darussalam An’Nu, Sudirman (49 tahun) dan 2 pengasuh panti asuhan, Yusuf Bahtiar (30) dan Yandi Supriyadi (28), ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual karena melakukan pencabulan. disambut sejumlah anak.
Sudirman dan Yusuf ditangkap, sedangkan Yandi terus diburu polisi dan kini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Diketahui, di Panti Asuhan Kunciran, terdapat 8 orang korban pelecehan seksual yang dilakukan predator anak. Jumlah korban saat ini sebanyak 8 orang yang seluruhnya laki-laki. Dari 8 korban, 5 diantaranya anak-anak dan 3 orang dewasa.
Selly pun mendukung polisi dalam menangkap predator tersebut dengan Undang-Undang 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Melalui UU TPKS, hukuman maksimal dapat diberikan kepada pelaku predator anak,” tegasnya.
Selly menilai UU TPKS yang diselesaikan dengan menjabat Puan Maharani sebagai Ketua DPR pada 2022 merupakan aturan terbesar.
“Karena tidak hanya menjaring pelakunya, tapi juga lembaga yang mengelolanya,” kata Selly.
Artinya, kata Selly, panti asuhan Tangerang bisa dituntut secara hukum berdasarkan izin dan undang-undang, seperti halnya memiskinkan pelakunya dengan merampas harta bendanya dengan menunjukkan identitasnya.
“Dengan begitu, pelakunya tidak hanya dikenakan sanksi hukum tetapi juga sanksi sosial dari masyarakat. Wajah mereka ada di jejak digital di media, kata legislator asal daerah pemilihan VIII Jawa Barat itu.
Sementara itu, para korban mendapat perlindungan hukum yang kuat dan ditutupi identitasnya serta mendapat bantuan rehabilitasi mental, lanjut Selly.
Pelaku diduga melanggar Pasal 6 UU TPKS dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Selain itu, polisi juga menjerat pelaku dengan pasal 76E dan 76I juncto pasal 82 Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak dan atau pasal 289 KUHP. Ancaman hukuman dalam pasal 76E UU Perlindungan Anak maksimal 15 tahun penjara.
Selly yang pada periode DPR sebelumnya menjabat Komisi VIII bidang pekerjaan terkait perlindungan anak, juga mendorong aparat penegak hukum untuk memperberat hukuman bagi pelaku dengan mempertimbangkan status tersangka yang merupakan pengasuh korban.
“Pasal 82 ayat 2 UU Perlindungan Anak dengan jelas menyatakan bahwa tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh pengasuh anak mempunyai pidana yang lebih berat dengan menambahkan 1/3 dari pidananya,” tegasnya.
Berikut artikel yang dimaksud Selly:
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang yang mempunyai ikatan keluarga, pengasuh, pendidik, tenaga kependidikan, pejabat yang membidangi perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama. , pidananya ditambah sebesar ⅓ (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Saya berharap penegak hukum bisa mengancam hukuman semaksimal mungkin. Agar ada efek jera agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari, kata Selly.
Saat ini, polisi mendapat informasi bahwa ada 18 anak yang diasuh di panti asuhan Kuncirán, 2 diantaranya masih anak-anak. Polisi masih menyelidiki kemungkinan ada korban lain di antara para tersangka.
Selly mengapresiasi langkah cepat Polres Metro Tangerang yang sigap menemukan kasus ini setelah mendapat informasi melalui direct message (DM) Instagram.
“Dan saya berharap polisi bisa mengusut tuntas kasus ini. Kami tidak hanya segera menangkap pelaku DPO, tapi juga mendata korban secara detail agar bisa mendapat bantuan,” harap mantan Wakil Bupati Cirebon itu.
Lebih lanjut, Selly mengatakan kasus panti asuhan Kunciran Indah harus menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Ia menekankan, tidak boleh ada tempat bagi kekerasan seksual, terutama terhadap anak.
“Kasus ini dapat menjadi pelajaran dan peringatan bagi siapapun di Republik ini untuk menghormati perempuan dan anak, agar kekerasan, pelecehan atau sejenisnya tidak terulang kembali,” kata Selly.
Di sisi lain, Selly juga menyoroti pentingnya penyempurnaan peraturan pemerintah untuk memastikan seluruh yayasan panti asuhan terdaftar dan memiliki izin beroperasi.
“Kejadian ini bukan hanya merupakan bentuk penyalahgunaan hak-hak anak, namun juga menunjukkan kelemahan yang serius dalam pengaturan dan pengawasan terhadap panti asuhan dan lembaga yang menampung anak,” jelasnya.
Meski saat ini Pemerintah telah menyegel panti asuhan dan memindahkan anak asuh serta korban ke Rumah Perlindungan Sosial (RPS), Selly meminta agar prosedur hukum juga tetap dilakukan dari sisi administrasi.
“Mekanisme verifikasi yang lemah dan kurangnya pengawasan rutin membuat panti asuhan rentan menjadi tempat eksploitasi dan pelanggaran.
Hak-hak anak. Oleh karena itu, harus ada sanksi tegas terhadap setiap pelanggaran berupa penutupan operasional lembaga, kata Selly.
Untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali, Selly meminta pemerintah memperkuat pengawasan di setiap yayasan panti asuhan, termasuk dengan melakukan pengecekan berkala terhadap operasional panti asuhan yang menampung anak-anak tersebut.
“Pemerintah harus menjamin para pendiri dan pengelola lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki catatan kriminal, terutama terkait kekerasan dan penganiayaan terhadap anak,” jelasnya.
“Dan memastikan seluruh sumber daya manusia yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan pendidikan anak telah lulus tes psikologi dan memiliki sertifikasi yang jelas, serta tidak memiliki rekam jejak yang buruk. “Ini demi keselamatan dan kenyamanan anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa,” pungkas Selly.
(qlh)