JAKARTA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Persatuan Riset Pemasaran Indonesia (PERPI) menggelar acara “Indonesia Market Behavior Outlook 2025” di Ballroom BRIN. Acara ini bertujuan untuk membantu pemerintah dan sektor swasta mengembangkan strategi untuk melawan perubahan perilaku pasar di tengah tantangan perekonomian global.
Ketua Umum PERPI Reza Yogaswara mengatakan, kegiatan ini rutin dilakukan sejak tahun 2018. “Forum ini dirancang untuk memberikan pemahaman strategis kepada pemangku kepentingan dalam menyikapi perubahan perilaku pasar,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya kontribusi Gen Z sebagai penggerak utama perekonomian pada tahun 2025. “Belanja generasi Z di kelas menengah akan menjadi salah satu faktor penggerak perekonomian, meski kita menghadapi stagflasi akibat situasi geopolitik global,” tambah Reza.
Deputi Riset dan Promosi Inovasi BRIN Agus Hariono menyoroti pertumbuhan Indeks Inovasi Global Indonesia mulai tahun 2022 dan seterusnya. Menurut Agus, hal tersebut disebabkan oleh membaiknya ekosistem riset nasional dan peningkatan kontribusi swasta dari 16% pada tahun 2021. menjadi 21% pada tahun 2023.
“Kerja sama semua pihak diperlukan untuk menciptakan produk-produk berdaya saing yang mampu menjadikan Indonesia semakin berdaya saing di kancah dunia,” jelasnya.
General Vice President KADIN Indonesia Bayu Priawan Jokasoetano menekankan pentingnya pengolahan dan industrialisasi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%. “Tanpa pemantauan ketat dan kolaborasi aktif antara sektor swasta, pemerintah, dan lembaga penelitian, tujuan ini akan sulit tercapai. Bukti penelitian sangat penting untuk mendukung kebijakan yang tepat,” ujarnya.
Ketua Umum APRINDO Roy Mundy menyampaikan pandangan kritis terhadap situasi perekonomian saat ini. Ia mengatakan, daya beli masyarakat melemah, arus kas badan usaha terganggu, dan terjadi deflasi dalam lima bulan terakhir.
“Deflasi ini menyebabkan pertumbuhan negatif di banyak daerah di Pulau Jawa. Faktanya, hampir 60% industri, produksi, dan penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa,” jelas Roy.
Roy juga menyoroti dampak kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menurutnya semakin menggerus daya beli masyarakat. “Penopang utama perekonomian kita adalah konsumsi. Jika daya beli terus menurun maka kita akan sulit mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 7-8 persen pada tahun-tahun mendatang,” ujarnya.
Ia menambahkan, melemahnya daya beli diperparah dengan tingginya suku bunga akibat kebijakan Federal Reserve AS yang menyebabkan buruknya riwayat kredit dan fenomena menggali lubang untuk menutup lubang dengan pinjaman online atau perjudian online.
Roy menyoroti, pelaku usaha hilir saat ini membatasi ekspansi karena arus kas terganggu. “Pulau Jawa yang memiliki konsentrasi perekonomian terbesar, menjadi salah satu yang merasakan dampak paling besar akibat PHK hingga 60 ribu orang. Ini menunjukkan kondisi perekonomian kita sedang buruk”, ujarnya.
(fiksi)