Penyakit tidak menular (PTM) dikenal sebagai penyakit degeneratif. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan masyarakat karena tingginya angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Berdasarkan studi Kementerian Kesehatan pada tahun 2014, sekitar 29,7 persen penduduk Indonesia mengonsumsi GGL melebihi standar.

Oleh karena itu, muncul pembahasan mengenai pelabelan yang menunjukkan tingkat risiko konsumsi GGL. Kepala BPOM RI Taruna Ikar menilai dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, pemerintah Indonesia berupaya mengatasi penyakit tidak menular (PTM) melalui kebijakan kesehatan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Ketentuan tambahan mengenai pengendalian PTM tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, termasuk menyebutkan pengendalian PTM melalui pengendalian konsumsi GGL.

Dalam pengendalian PTM, WHO merekomendasikan sejumlah kebijakan yang dapat diterapkan, antara lain pelabelan nutrisi pangan yang merupakan kewenangan dan tugas BPOM.

“Salah satu strategi pengendalian konsumsi GGL adalah dengan menentukan pencantuman informasi nilai gizi (NV), termasuk informasi kandungan GGL, pada pangan olahan dan/atau pangan jadi,” kata Taruna Ikrar.

BPOM sendiri, bahkan sebelum diberlakukannya PP Nomor 28 Tahun 2024, telah melakukan upaya penanggulangan PTM, antara lain penetapan persyaratan terkait label gizi melalui penerbitan Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label untuk Diolah. Makanan.

Beberapa kebijakan pelabelan gizi pada pangan olahan yang diatur antara lain pencantuman Tabel Fakta Gizi yang bersifat wajib, dan kebijakan pelabelan gizi di bagian depan label (front of package Nutrition Label/FOPNL) yang bersifat sukarela agar lebih mudah. Agar masyarakat memahami kandungan nutrisi produk.

Melanjutkan penjelasan Kepala BPOM, Wakil Direktur 3 BPOM Elin Herlina mengatakan, sesuai PP Nomor 28 Tahun 2024 dan hasil pemantauan pelaksanaan label gizi, BPOM sedang mengkaji persyaratan penyusunan daftar FOPNL. Kebijakan format item tingkat gizi.

Kadar gizi ini terdiri dari empat tingkatan (tingkat A, B, C dan D) yang menunjukkan tingkatan makanan olahan berdasarkan kandungan GGL-nya. Grade A memiliki kandungan GGL paling rendah, sedangkan grade D memiliki kandungan GGL paling tinggi.

Penerapan kewajiban memasukkan kadar gizi pada makanan olahan terus dilakukan. Pada tahap pertama, sasarannya adalah minuman siap minum dengan kandungan GGL level C dan level D. Kewajiban penerapan kadar gizi juga akan diselaraskan antara pangan olahan yang ditetapkan BPOM dengan pangan olahan yang ditetapkan. oleh Kementerian Kesehatan.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan, tujuan utama aturan memasukkan informasi konten GGL adalah untuk memberikan literasi dan edukasi agar masyarakat dapat memilih produk yang diinginkan. . mengkonsumsi. Dengan informasi ini, masyarakat dapat menghitung tingkat GGL yang mereka konsumsi.

“Dari segi edukasi masyarakat, rambu ini dibuat semudah mungkin dibaca dan dipahami oleh masyarakat Indonesia,” kata Nadia.

Dikatakannya, “Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan (literasi) masyarakat Indonesia yang masih rendah, sehingga penggunaan gambar sebagai bentuk labeling akan lebih menarik dan mudah diterima dan dipahami.

(Leo)