NEVAEH Crain, seorang anak hamil berusia 18 tahun meninggal setelah menerima perawatan yang tidak memadai di ruang gawat darurat di Texas. Ia pertama kali datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut dan demam tinggi, namun didiagnosis menderita radang tenggorokan. Ketika dia kembali dalam kondisi kritis, dia didiagnosis menderita sepsis dan infeksi saluran kemih, namun diberi antibiotik dan dipulangkan.

Melansir CNN Health, Selasa (5/11/2024). Candace Fails berteriak minta tolong di rumah sakit Texas pada 1 Oktober. 29 Agustus 2023. Dia memohon kepada dokter untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkan putrinya yang berusia 18 tahun, Nevaeh Crain, yang sedang hamil enam bulan. Nevaeh berada dalam kondisi kritis dan terlalu lemah untuk berjalan. Pahanya berdarah karena demam tinggi dan muntah-muntah sehari sebelumnya.

Pada kunjungan ketiga, Crain berada dalam kondisi kritis. Setelah dua kali USG memastikan bahwa bayi tersebut meninggal, dokter mengambil langkah lebih lanjut. Namun, Crain kehilangan tekanan darahnya dan meninggal beberapa jam kemudian. Tragedi ini memicu kritik luas terhadap kebijakan aborsi di Texas, yang dianggap membatasi perawatan darurat bagi perempuan hamil.

Di Texas, dokter menghadapi hukuman berat jika mereka melakukan prosedur berisiko untuk mengakhiri kehamilan, meskipun tindakan tersebut menyelamatkan nyawa ibu. Kebijakan ini menimbulkan masalah besar bagi para profesional medis yang peduli dengan peraturan hukum. Mereka terpaksa memilih antara melindungi pasien atau mengikuti aturan ketat.

Profesor Sara Rosenbaum dari Universitas George Washington mengatakan undang-undang tersebut menempatkan perempuan hamil dalam posisi berbahaya. Meskipun undang-undang federal mengharuskan rumah sakit untuk menstabilkan pasien dalam situasi darurat, undang-undang negara bagian memperketat pembatasan aborsi hingga pada titik di mana nyawa perempuan seperti Crain berada dalam risiko. Ibu Crain, Candace Fails, merasa rumah sakit lebih fokus pada keselamatan bayi yang belum lahir dibandingkan anaknya. Meski keluarganya menentang aborsi, Candace menegaskan bahwa dia ingin keselamatan Crain diutamakan. Dia merasa bahwa sistem perawatan kesehatan Texas terlalu ketat dalam menerapkan peraturan, yang telah mengorbankan nyawa putrinya.

Pakar medis mengatakan bahwa sepsis merupakan kondisi serius yang memerlukan perhatian segera. Pada kunjungan kedua Crain ke rumah sakit, dia akan mendapat perawatan intensif. Namun kekhawatiran akan pelanggaran hukum memaksa dokter menunggu hingga ada kejelasan lebih lanjut mengenai kondisi bayi yang belum lahir tersebut.

Para profesional medis menganggap prosedur USG ganda untuk memastikan kematian anak hanya membuang-buang waktu. Menurut Dr. Dara Kass, kasus ini menjadi bukti nyata bahwa pembatasan aborsi menimbulkan risiko besar bagi ibu hamil dalam situasi darurat. Penundaan seperti ini pada akhirnya merugikan keamanan Crain.

Kasus Crain juga menunjukkan betapa lemahnya perlindungan bagi perempuan hamil yang menghadapi masalah medis di Texas. Dengan adanya ancaman tindakan hukum terhadap dokter, banyak pasien yang mengalami keterlambatan pengobatan karena penegakan hukum yang diutamakan, bukan keselamatan pasien.

Keluarga Crain berharap tragedi ini akan mendorong peninjauan kembali kebijakan aborsi di Texas. Mereka ingin memastikan tidak ada lagi perempuan yang menderita karena keterlambatan pengobatan. Menurut mereka, kebijakan aborsi harus memberikan ruang bagi situasi darurat.

Kematian Crain menggarisbawahi pentingnya menjadikan keselamatan pasien sebagai prioritas utama dalam kebijakan kesehatan. Kasus ini patut menjadi pengingat bahwa kebijakan yang ketat dapat membahayakan nyawa ibu hamil. Kami berharap tragedi ini akan membawa perubahan yang menjamin keselamatan perempuan tidak terganggu oleh masalah hukum.

(qlh)