Migrain merupakan salah satu jenis sakit kepala yang sangat hebat dan berbeda dengan sakit kepala biasa. Selain rasa sakit yang menyiksa, gejala migrain sering kali berupa mual, kepekaan terhadap cahaya dan suara, serta gangguan penglihatan. Serangan ini dapat berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa hari, sehingga menyulitkan aktivitas sehari-hari.
Ann McGregor, pakar sakit kepala dan kesehatan wanita, mengatakan bahwa wanita lebih sering mengalami migrain dibandingkan pria. Hal ini menjadi masalah kesehatan yang serius bagi banyak orang. Melansir Wired Selasa (23/9/2024), beragam faktor bisa memicu migrain, antara lain fluktuasi hormonal, stres, dan faktor genetik yang berperan meningkatkan risiko pada wanita.
Efek dari migrain yang berulang dapat sangat mengganggu kualitas hidup, sehingga banyak wanita merasa terbatas dalam beraktivitas. Oleh karena itu, penting untuk memahami penyebab dan mencari cara mengatasi migrain agar memiliki kualitas hidup yang baik.
Di masa kanak-kanak, anak laki-laki lebih rentan terkena migrain dibandingkan anak perempuan. Dengan dimulainya masa pubertas, segalanya berubah secara dramatis. Pada fase ini, hormon seks mulai muncul sehingga menimbulkan berbagai perubahan fisik, termasuk mulainya menstruasi. Banyak gadis mengalami migrain di awal siklus menstruasi.
Setelah pubertas, anak perempuan lebih sering mengalami migrain dibandingkan anak laki-laki, dan perbedaannya menjadi lebih jelas ketika orang mencapai usia tiga puluhan dan memasuki usia tua.
“Ini sangat sulit pada kedua tahap kehidupan reproduksi wanita,” jelas McGregor.
Fluktuasi kadar estrogen juga berhubungan dengan migrain pada wanita. Saat wanita memasuki masa perimenopause, yaitu masa transisi menuju menopause, kadar hormon menjadi sangat tidak menentu.
“Wanita yang sebelumnya tidak pernah mengalami migrain menstruasi lebih mungkin mengalaminya selama perimenopause,” jelas McGregor.
Richard Lipton, ahli saraf dan epidemiologi di Alt Einstein College of Medicine di New York, mengatakan bahwa beberapa wanita mengalami kelegaan dari migrain setelah menopause. Penting untuk dicatat bahwa hasilnya berbeda-beda, tidak semua orang mengalami peningkatan.
Interaksi antara estrogen dan peptida terkait gen kalsitonin (CGRP) juga memperumit masalah ini. CGRP adalah bahan kimia yang membantu sel saraf berkomunikasi.
Menurut Lipton, CGRP melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah, yang sering dikaitkan dengan nyeri migrain.
“Selama serangan migrain, tingkat CGRP dalam darah korban biasanya tinggi,” jelas Lipton.
Wanita memiliki tingkat CGRP yang lebih tinggi dibandingkan pria, dan perubahan kadar estrogen dapat memengaruhi CGRP pada jalur nyeri di otak. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa respons perempuan terhadap CGRP juga lebih kuat.
Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa progesteron, hormon seks lainnya, juga berperan dalam terjadinya migrain. Temuan terbaru menunjukkan bahwa aktivasi reseptor progesteron di otak dapat meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri.
Sebuah tim dari Universitas Virginia bereksperimen dengan menyuntik tikus dengan nitrogliserin, yang bertindak sebagai vasodilator, untuk meniru migrain. Mereka kemudian memberi mereka progesteron dan menemukan bahwa hormon tersebut membuat tikus lebih sensitif terhadap rasa sakit, seperti yang terlihat dari penghindaran cahaya dan respons mereka terhadap sensasi tusukan jarum.
(kamp)