JAKARTA – Inilah kisah akademis Eko Aryanta, hakim yang memvonis Harvey Moeis hanya 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi timah yang kini terkuak ke publik. Hukuman tersebut dinilai lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 12 tahun penjara.
Eko mengklaim Harvey yang merupakan suami selebriti Sandra Dewi tidak berperan besar dalam skandal korupsi antara PT Timah Tbk dan rekanan bisnisnya. Namun keputusan tersebut menuai kritik karena kasus tersebut disebut merugikan negara hingga Rp300 miliar.
Tak hanya keputusannya yang menarik perhatian, latar belakang akademis dan karier Ek Aryant pun demikian.
Riwayat pendidikan dan karir
Eko Aryanto merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dengan pangkat kepala pengawas madya kelas IV/d. Beliau memulai pendidikannya di SD Xaverius 1 dan lulus pada tahun 1974, dan dilanjutkan di SMA Xaverius hingga tahun 1977. Beliau menyelesaikan pendidikan SMA-nya di SMA Swagaya jurusan ilmu-ilmu sosial yang lulus pada tahun 1980.
Eko melanjutkan pendidikan SMA di Universitas Brawijaya mengambil jurusan Hukum Pidana dan lulus pada tahun 1987. Beliau kemudian melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Sekolah Tinggi Hukum IBLAM dan lulus pada tahun 2002. Beliau memperoleh gelar Doktor Hukum dari universitas tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945. Jakarta 2015.
Buku Kerja
Eko memiliki pengalaman panjang di dunia peradilan. Sebelum bertugas di PN Jakarta Pusat, beliau pernah menjabat Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung, PN Pandeglang (2009), PN Blitar (2015) dan PN Mataram (2016). Salah satu kasus terbesar yang ditanganinya adalah konflik antara kelompok John Kei dan Nus Kei, dimana John Kei divonis 15 tahun penjara.
Berdasarkan Jurnal Perekonomian Negara (LHKPN) Januari 2024, Eko memiliki harta senilai Rp 2,8 miliar. Harta tersebut antara lain berupa real estat senilai Rp1,3 miliar, lima unit mobil senilai total Rp910 juta, dan harta bergerak lainnya senilai Rp395 juta.
Keputusan terhadap Harvey Moeis menjadi penyebab kontroversi dalam karier Eko Aryant. Keputusannya, yang dianggap tidak sebanding dengan kerugian negara dan korupsi, terus memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan polisi.
(fbn)