JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi ahli dalam penyidikan kasus korupsi timah yang melibatkan terdakwa Harvey Moise, Superta, dan Reza di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Ahmed Reddy, salah satu saksi ahli hukum pertambangan dan lingkungan hidup, menjelaskan nilai kerugian negara dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Perman LH) Nomor 7 yakni 32 UU Tahun 2014. . Termasuk dalam KUHPerdata

“Bab kerusakan lingkungan hidup itu kan pemerintah bisa menghitung kerusakannya, dari segi kerusakan sebenarnya hukum perdata, kalau kita bicara secara umum. Tapi bisa dijadikan alat untuk menghitungnya sebagai pedoman.”

Menurut Peraturan tersebut, Undang-Undang Lingkungan Hidup mengatur tentang perhitungan ganti rugi atas kerusakan lingkungan hidup yang berasal dari kegiatan Menteri

Katanya, “Kalau melihat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, pertimbangannya adalah persoalan perhitungan ganti rugi.

Ahmed juga menjelaskan, kepemilikan timah yang belum dibayar royaltinya tidak dapat dituntut berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (MINERBA).

Majelis hakim mempertanyakan kepemilikan timah oleh PT Tim yang bisa diklaim saat berada di dalam tanah atau saat diekspor dan telah dilakukan pembayaran.

“Apakah bisa dikatakan milik PT Tima ketika masih dalam kandungan atau ingin mengekspor, kalau membayar royalti,” tanya Hakim Ahmed.

“Pasal 93 UU Minerba mengatur tentang peralihan kepemilikan mineral logam, sebut saja timah. Itu (kepemilikan) adalah hak negara dari membayar royalti ke membayar royalti,” kata Amad.

Selain itu, Ahmed juga meminta aparat menegakkan hukum terhadap tindak pidana pertambangan.

Dalam hukum pertambangan, aparat penegak hukum (LPA) yang mempunyai kewenangan mengusut dan mengusut tindak pidana pertambangan adalah polisi.

Katanya, “Dalam Pasal 158 UU Pertambangan dan Batubara soal penegakan UU Tindak Pidana Pertambangan, tentu kalau bicara hukum acara, itu soal penyidikan pihak kepolisian.

Undang-undang ini juga bisa diterapkan pada pelaku pelanggaran pertambangan.

Ia mengatakan, pada pasal 158 disebutkan siapa yang menambang tanpa izin, akan dipidana dengan pidana penjara 10 tahun dan Rp 100 miliar.  

(Hah)