Langkah selanjutnya dalam penataan kebijakan JKN adalah inisiasi pedoman rancangan kebijakan diferensial biaya Jaminan Kesehatan Tambahan (AKT) melalui koordinasi antar perusahaan asuransi dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Program ini merupakan salah satu program besar yang bertujuan memberikan perlindungan finansial bagi masyarakat Indonesia untuk mengakses layanan kesehatan untuk kebutuhan kesehatan dasar. Pemaparan pedoman disparitas biaya pengobatan di Auditorium Sivabesi oleh Prof. Sujudi, Lantai 2, pada Rabu, 11 September 2024.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan Neraca Kesehatan Nasional (NHA) menunjukkan belanja kesehatan Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2023, belanja kesehatan mencapai Rp606,3 triliun, meningkat delapan persen dari tahun 2020 sebesar Rp562,6 triliun. Peningkatan terbesar terjadi pada Sistem Jaminan Kesehatan Sosial (Askes).

“Pertumbuhan biaya kesehatan selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi negara, itu masalah nomor satu ya, berkelanjutan walaupun kita kecil,” rangkum Menkes Budi sesuai laman resmi kementerian. kesehatan.

Proporsi belanja kesehatan out-of-pocket (OOP) menunjukkan tren penurunan dari 32,3 persen pada tahun 2019 menjadi 28,9 persen pada tahun 2023. Namun secara nominal, belanja kesehatan meningkat dari Rp157,5 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp172,25,25 triliun pada tahun 2019.

Penerapan program JKN diyakini menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya pangsa tenaga kerja sendiri di Indonesia, meski nilai tenaga kerja sendiri dinilai masih tinggi karena targetnya sebesar 24 persen pada tahun 2023. Program JKN memberikan pilihan bagi peserta yang ingin melanjutkan ke kelas pengobatan yang lebih tinggi dari haknya.

Untuk memperluas kategori ini, selisih antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan dengan biaya layanan yang diinginkan harus ditanggung oleh peserta. Undang-Undang Penerapan No. 40 Tahun 2004 pasal 23 ayat 4 yang memperbolehkan peserta memperoleh manfaat asuransi kesehatan tambahan (AKT) atau membayar sendiri selisih biayanya.

Peraturan Menteri Kesehatan No. Mulai tahun 2023 dan seterusnya ada 3 JKN yang mengatur standar biaya pelayanan, namun belum mengatur koordinasi antara BPJS kesehatan dan asuransi kesehatan tambahan. Pedoman ini diperlukan sebagai dasar kesepakatan antara institusi kesehatan, BPJS Kesehatan dan asuransi swasta dalam menentukan tarif dan manfaat asuransi.

Sejak tahun 2014, program JKN telah memberikan ruang bagi peserta yang memerlukan kelas pengobatan lebih tinggi dari haknya, dan dikenakan variasi biaya. Namun hal tersebut harus sesuai dengan peraturan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004.

Secara ringkas skema penjaminan selisih biaya adalah sebagai berikut: BPJS Kesehatan menanggung 75 persen tarif INA-CBG sesuai kelas pengobatan terkait hak peserta atas kelas pengobatan yang dipersyaratkan oleh fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut.

Sedangkan selisih biaya yang ditanggung asuransi kesehatan tambahan adalah selisih tarif fasilitas kesehatan rujukan lanjutan dengan biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan.

Selisih tersebut maksimal sebesar 125 persen dari tarif INA-CBG terkait kelas perlakuan peserta. Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), Syarifah Liza Munira dalam sambutannya mengatakan, selisih biaya sebenarnya sudah diatur dalam aturan JKN yaitu Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Perpres no. 82 tentang jaminan kesehatan mulai tahun 2018, serta Peraturan Menteri Kesehatan no. 3 tahun 2023.

Namun demikian, belum ada pedoman yang mengatur koordinasi antar penyelenggara asuransi sehingga diperlukan pedoman yang dapat mengkoordinasikan antara BPJS kesehatan dengan asuransi kesehatan tambahan serta memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan koridor UU SJSN.

“Perintah Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1366/2024 tentang Pedoman Struktur Kebijakan Diferensial Biaya pada Jaminan Kesehatan Tambahan Melalui Koordinasi Antar Penyedia Asuransi dalam Program JKN yang saat ini sedang kami terbitkan dan akan kami jadikan sebagai bahan acuan.” acuan penerapan perbedaan biaya rujukan kesehatan lanjutan kemampuan BPJS dan asuransi kesehatan swasta,” tulis Kepala BKPK Syarifah Liza Munira.

Selain itu, tambah Liza, pengaturan yang disebut dengan Koordinasi Antar Penyedia Penjaminan (KAPJ) ini meliputi koordinasi iuran dalam satu tempat, koordinasi sistem penagihan, dan koordinasi pembagian selisih biaya. Dengan demikian perusahaan asuransi swasta dapat memperoleh kepastian dalam menciptakan produk asuransi yang kreatif dan inovatif serta tumbuh sehat.

“Pelaksanaan jaminan kesehatan melalui asuransi kesehatan swasta dari data pengeluaran kesehatan (National Health Accounts 2023) menunjukkan total klaim asuransi kesehatan swasta melebihi total premi. Pada tahun 2023 saja, total klaim mencapai Rp 26,94 triliun, lebih tinggi dibandingkan total premi sebesar Rp 21,03 triliun. Oleh karena itu, adaptasi peran asuransi kesehatan swasta ke dalam program jaminan kesehatan nasional harus didukung oleh sistem regulasi sebagai pedoman pelaksanaannya, kata Liza.

Pengaturan skema diferensial biaya melalui koordinasi antar penyelenggara asuransi tidak lepas dari dukungan BPJS Kesehatan, Otoritas Jasa Keuangan, perusahaan asuransi swasta, lembaga kesehatan rujukan tingkat lanjut yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, serta seluruh pemangku kepentingan terkait.

(singa)