JAKARTA – Pengambilan sumpah 48 menteri dan 56 wakil menteri di pemerintahan Pravo Subianto-Gibran Recboming Reka diumumkan sebagai kabinet paling gemuk sejak Orde Baru hingga reformasi. Pembentukan kabinet gemuk dalam sejarah politik Indonesia bahkan dianggap sebagai akibat dari kebutuhan politik.

Pengamat hukum dan politik Peter C. Zucchlipli merefleksikan langkah Pravo membentuk kabinet yang gemuk. Ia bahkan mempertanyakan efektivitas pengambilan sumpah puluhan asisten presiden Tanah Air.

“Koalisi besar yang dibentuk untuk memenangkan pemilu biasanya harus menerima ‘gaji’ dengan membagi posisi menteri kepada partai pendukung. Apakah ini benar-benar solusi yang efektif? Sejarah menunjukkan bahwa kinerja pemerintahan yang besar dapat memperlambat pengambilan keputusan, karena kebijakan apa pun harus melewati banyak lapisan kepentingan,” kata Peter Zuclifli dalam keterangannya, Selasa (22/10/2024).

Ia mengatakan, Presiden Prabhu adalah pribadi yang kuat. Ia bahkan menilai Perbau dan Wakil Presiden Gibran berupaya membentuk pemerintahan yang siap membersihkan Indonesia dari masalah kronis seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum.

Namun, ia juga berulang kali menegaskan pernyataan Prabo bahwa Indonesia masih banyak menghadapi kebocoran informasi, penyalahgunaan kekuasaan yang sangat berbahaya bagi generasi mendatang, seperti korupsi dan kolusi. Pelecehan ini terjadi antara pejabat politik dan pemerintah serta pengusaha nakal dan tidak patriotik.

Dalam pidato kenegaraan pertamanya, Prabhu tak segan-segan menyatakan masih banyak masyarakat yang belum menikmati hasil kemerdekaan. Pravo juga mengingatkan para pemimpin politik untuk tidak terlalu senang ketika melihat angka statistik yang terlalu cepat membuat mereka bahagia.

Padahal, pernyataan Presiden Pravo ditujukan kepada seluruh penguasa dan elite politik yang selama ini tidak adil terhadap rakyat, kata Peter Zuklipli.

Ia mengamini, keyakinan Prabo yang ingin mengubah citra Indonesia di mata masyarakat dan dunia tidak semudah membalikkan tangan. Menurutnya, pemberantasan elite serakah dan kelompok bisnis kulit hitam memerlukan keberanian, keberanian, dan kecerdikan dalam menghadapi dan mengelola permasalahan yang melibatkan kekuasaan di semua tingkatan.

Peter Zuclifli menilai desain kabinet tebal terlihat setengah hati. Posisi-posisi strategis yang tidak boleh menjadi sarana kompromi politik justru ditempati oleh tokoh-tokoh yang kredibilitas dan integritasnya dipertanyakan.

Padahal, seharusnya posisi-posisi strategis dipegang oleh orang-orang yang berintegritas dan setia kepada bangsa, bukan pengusaha kulit hitam yang selalu terlibat pendanaan politik praktis untuk menyerang kredibilitas pemimpin nasional.

Ia membandingkan kabinet Prabo dengan kabinet Kanada di bawah Perdana Menteri Justin Trudeau pada tahun 2015, yang sering dipuji sebagai salah satu yang terbaik di dunia karena penuh dengan tokoh-tokoh berbakat. Setiap kantor dipimpin oleh seorang yang ahli di bidangnya.

Salah satu contohnya adalah Menteri Kesehatan yang dipimpin oleh seorang dokter yang berpengalaman puluhan tahun di Afrika. Jadi Menteri Perhubungan adalah seorang astronot.

“Bandingkan dengan Indonesia yang jabatan menterinya masih sering menjadi alat politik untuk kebaikan. Jika ingin berhasil, kabinet Pravo-Gibran harus belajar dari pengalaman tersebut dengan menunjuk orang-orang yang benar-benar kompeten dan bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan politik,” kata Peter Zuklipli.

Peter Zuclifli juga menilai pembentukan oil closet ini telah memperkuat ambisi Presiden Pravo di tengah kondisi dan kondisi geopolitik global yang semakin tidak menentu. Faktanya, ini adalah salah satu tantangan terbesar pemerintahan baru.

“Ketika ketegangan antar negara meningkat, perekonomian global terguncang sehingga berdampak pada sektor-sektor vital di Indonesia, mulai dari lembaga keuangan, tekstil hingga manufaktur, dan banyak kegiatan industri nasional lainnya yang merasakan dampak deflasi. Dalam situasi seperti ini, kabinet yang efektif harus memiliki kabinet yang efektif. arah kebijakan yang jelas dan respons cepat terhadap krisis ini,” katanya.

Peter Zuclifli mengatakan bahwa pemerintahan besar berada dalam bahaya terjebak dalam kepentingan pribadi. Dia mengatakan, dengan adanya banyak kantor, mereka malah bisa menghambat pengambilan keputusan yang perlu diambil dengan cepat.

Belum lagi permasalahan klasik seperti korupsi dan ketidakjujuran yang kerap menggerogoti sistem birokrasi pemerintahan, ujarnya.

Selain itu, ia meyakini sebagai wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia, Gibran membawa energi dan perspektif baru dalam pemerintahan. Namanya dikenal karena gaya pengelolaannya yang hands-on dan dukungannya terhadap pembangunan daerah yang ditunjukkannya saat menjabat Wali Kota Sulu.

Kehadiran Gibran di kabinet diharapkan mampu membawa keseimbangan antara pemikiran pragmatis dan idealisme segar, sesuatu yang kerap hilang dalam dinamika politik nasional. Namun tantangan yang dihadapi Gibran tidaklah mudah.

“Sebagai bagian dari kabinet besar, ia harus mampu menjaga semangat kerja kolektif, menghindari konflik internal, dan tetap fokus pada visi besar yang dijanjikan dalam kampanye. Banyak yang menunggu apakah Gibran mampu mengatasi kebiasaan lama di Indonesia. politik, yang seringkali lebih bersifat status quo dibandingkan dengan inovasi dan perubahan nyata”, kata Peter Zuclifli.

Peter Zuklipli kembali menyebut pemerintahan Pravo-Gibran mendapat harapan besar dari masyarakat yang menginginkan perubahan nyata. Isu-isu seperti reformasi hukum, peningkatan kualitas hidup masyarakat, dan penyelesaian permasalahan ekonomi yang kompleks memerlukan kerja keras dan sinergi yang luar biasa. 

“Tetapi pertanyaannya, mampukah pemerintahan yang sangat besar ini mewujudkan semua ini? Bisakah Prabhu dan Gibran fokus pada program prioritas tanpa terseret ke dalam kepentingan politik jangka pendek?” katanya

Menurut dia, jawaban atas pertanyaan masyarakat akan menentukan bagaimana sejarah mencatat pemerintahan Pravo-Gibran. Dengan tantangan yang begitu besar, pemerintah harus membuktikan bahwa kabinet yang besar bukan sekedar kompromi politik, namun merupakan tim kerja yang efektif untuk mengubah citra Indonesia.

“Jika tidak, kita mungkin hanya akan melihat wajah lama Indonesia yang tetap bertahan, bahkan dengan angka-angka baru yang tampak luar biasa di pemerintahan,” katanya.

Peter Zuclifli menegaskan bahwa sistem yang baik akan memaksa orang jahat menjadi baik. Sedangkan sistem yang buruk akan memaksa orang baik menjadi jahat.

Menurut dia, masyarakat kini menunggu terobosan di 100 hari pertama kabinet Merah Putih. Bisakah Pravo memenuhi janjinya untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia? Kita tunggu terobosan di 100 hari pertama kabinet Merah Putih, kata Peter Zuklipli.  

(fkh)