JAKARTA – Perkara melawan pendapat negara kini diatur setelah Undang-Undang 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Salah satu praktik yang masih terjadi hingga saat ini adalah terorisme berdasarkan keyakinan agama dan kekerasan. 

Keberadaan hukum pidana melawan pendapat negara nampaknya memerlukan klarifikasi lebih lanjut terkait terorisme.   

Direktur Program Kajian Terorisme Muhamad Syauqillah menilai kejahatan yang bertentangan dengan niat pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188, 189, dan 190 KUHP memerlukan pengaturan lebih lanjut terhadap hal-hal lain yang berkaitan dengan terorisme. Menurut dia, sebagian besar teroris dilatarbelakangi oleh pemikiran lain yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila.  

“Kejelasan dan penerapan KUHP ini penting karena sebagai penyidikan terorisme, KUHP yang akan digunakan pada tahun 2026, khususnya pasal 188, 189, dan 190, mengatur tentang pemikiran pidana yang bertentangan atau menghilangkan Pancasila. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perilaku. “Nah, bagaimana penerapan KUHP ini,” ujarnya saat diskusi kajian terorisme di Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) UI, Rabu (9/10/2024).

Pernyataan Syauqi senada dengan apa yang disampaikan Penyidik ​​Densus 88, “Tersangka kami banyak yang mengalami gangguan kejiwaan.” 

Wakil Direktur SKSG Eva Achjani Zulfa mengatakan, hak seseorang untuk mengikuti prinsip-prinsip pendidikan tentunya dilindungi hak asasi manusia, dan dibatasi oleh kewenangan untuk tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu, menurutnya, dalam menangani tindak pidana pikiran harus hati-hati. Jadi tidak membuat takut, justru memudahkan. Kita juga harus memperhatikan konspirasi, motivasi, ancaman terhadap masyarakat, ujarnya.   

Eva menjelaskan, tidak mudah mematahkan stereotip berdasarkan contoh hukuman mati Imam Samudra yang menginspirasi jaringan tersebut. Selain itu diceritakan juga tentang Socrates yang dijatuhi hukuman mati karena gagasannya namun gagasannya masih digunakan sampai sekarang.

“Ada juga yang perlu dipertimbangkan: jika pasal 188-190 digunakan sebagai kejahatan biasa sedangkan terorisme adalah kejahatan luar biasa, bagaimana dengan penjara dengan keamanan tinggi?” katanya.

Ketua Program Doktor SKSG UI Margaretha Hanita mengungkapkan tulisannya tentang ketidakjujuran organisasi terkait Papua Merdeka. Dia mengatakan bahwa sampai batas tertentu seseorang yang dihukum karena pengkhianatan meningkatkan popularitas dan pengaruhnya dalam grupnya. 

“Kita harus hati-hati (mengetahui) apa itu serangan dan apa itu terorisme,” ujarnya. 

Pada bagian penjelasan UU No. 1 Tahun 2023, sebenarnya ada pasal 188, 189, dan 190. Namun dalam diskusi kelompok yang diselenggarakan SKSG UI, tampaknya masih diperlukan penjelasan lebih detail. Pengungkapan bukti-bukti tindak pidana kepada organisasi yang mempunyai kekuatan menafsirkan Pancasila sangatlah penting. 

Jaringan Moderat Indonesia, Ishlah Bahrawi mengatakan, seringkali negara lamban dalam memantau ide-ide yang bisa menjadi penyebab terorisme. Merujuk pada Baader Mainhof sebagai contoh yang terjadi di Jerman dan sistem demokrasinya, Ishlah mengungkapkan perlunya berhati-hati terhadap ideologi seperti Wahhabi-Salafi di Indonesia.

“Wahhabi-Salafi lah yang memimpin terorisme. Ini dari percakapan langsung dengan mantan narapidana yang menantang saya untuk berbicara karena dia menentang perkataan saya. Untuk kelompok taqiyah ini sebaiknya kita menggunakan 188, 189 dan 190.” . 

Menurutnya, hakikat Pancasila seutuhnya harus dilestarikan. Meski demikian, bukan berarti negara bisa mengabaikan ideologi yang mungkin menjadi akar terorisme di Indonesia.

“Gerakan kiri dan kanan kini bertemu di Jerman dan menjadi perhatian nasional. Selain cyber terorisme, hal ini harus dilakukan oleh Indonesia,” ujarnya.

 

(fk)

(fk)