JAKARTA – Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada pemilu bulan November merupakan salah satu peristiwa penting tahun 2024. Hal ini sekaligus memunculkan harapan akan berakhirnya beberapa konflik yang terjadi di dunia. khususnya perang di Ukraina dan pembantaian zionis Israel di Gaza.

Selama kampanye kepresidenannya, Trump sesumbar bahwa ia akan menjadi pembawa damai dalam konflik jika terpilih. Salah satu komentarnya yang terkenal adalah janjinya untuk mengakhiri konflik di Ukraina dalam waktu 24 jam setelah masa jabatannya sebagai presiden AS.

“Kepribadian saya membuat kita keluar dari perang,” kata Trump saat berkampanye di New Hampshire pada Januari 2023. “Jika saya menjadi presiden, tidak akan ada perang dengan Rusia di Ukraina.”

“Bahkan sekarang, meski banyak korban jiwa dan kehancuran di sebagian besar negara (Ukraina), saya menginginkan perjanjian damai… dalam waktu 24 jam,” katanya saat itu.

Meski banyak yang skeptis, termasuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, ada juga yang berharap bualan Trump menjadi kenyataan.

Sementara itu, terkait konflik Gaza, Trump telah mengisyaratkan, meski tidak secara eksplisit, bahwa ia akan berupaya mengakhiri kekejaman Israel di Gaza yang telah berlangsung selama lebih dari setahun dan telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina.

Faktanya, harapan Trump untuk mengakhiri konflik di Gaza-lah yang membuat banyak Muslim dan Arab di Amerika memilih miliarder tersebut. Hal ini terjadi meskipun Trump memiliki catatan buruk mengenai masalah Palestina pada masa jabatan pertamanya.

Perang Rusia-Ukraina

Konflik di Ukraina, sesumbar Trump, sudah berlangsung hampir setahun. Konflik dimulai pada Februari 2022, ketika Rusia melancarkan operasi militer khusus di Ukraina dengan dalih melindungi rakyat Donbass dan melindungi Kiev atas tidak dilaksanakannya perjanjian damai Minsk. Kiev dan sekutu Baratnya menggambarkan langkah Rusia sebagai invasi untuk merebut wilayah Ukraina.

Sejauh ini konflik masih terus berlangsung dan nampaknya akan terus berlanjut, meski situasi di lapangan menunjukkan Ukraina terus kehilangan sejumlah wilayah yang kini dikuasai pasukan Rusia.

Komentar Trump ini mendapat skeptisisme dari berbagai pihak, termasuk Rusia dan Ukraina. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh penolakan Kiev untuk melakukan negosiasi dengan Moskow untuk mengakhiri perang.

Namun, ketergantungan Ukraina pada bantuan dan senjata AS bisa menjadi kunci kemampuan Trump untuk memaksa Presiden Zelensky ke meja perundingan. Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan negosiasi untuk mengakhiri perang.

Masalah lainnya adalah “harga” yang harus dibayar oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik. Baik Ukraina maupun Rusia menolak menyerahkan wilayah yang berpindah tangan selama konflik.

Ada banyak spekulasi mengenai tawaran Trump kepada Moskow dan Kiev untuk mengakhiri perang. Banyak yang percaya bahwa Rusia tidak akan menerima syarat apa pun terkait penyerahan wilayah yang direbut pasukannya selama operasi militer atau terkait kehadiran pasukan asing di Ukraina.

Jika negosiasi ini berlangsung sesuai dengan keinginan Rusia, Ukraina harus kehilangan setidaknya seperlima wilayahnya yang direbut oleh pasukan Moskow. Rusia juga tidak akan mengizinkan Ukraina bergabung dengan NATO, yang merupakan salah satu alasan Moskow melancarkan operasi militernya.

Meskipun tenggat waktu 24 jam mungkin tidak dapat dipenuhi, banyak yang menantikan langkah apa yang akan diambil Trump terkait konflik ini setelah ia menjabat pada 20 Januari.

Perdamaian di Gaza

Konflik lain yang ingin diselesaikan Trump adalah perang antara Hamas dan Israel di Gaza, Palestina. Namun harapan akan netralitas Trump dalam konflik tersebut telah memudar, hal ini mencerminkan kebijakan Timur Tengahnya pada masa jabatan pertamanya dan pilihan menteri Kabinetnya.

Kebijakan luar negeri yang diambil Trump pada masa jabatan pertamanya, serta pilihan menteri Kabinetnya yang sangat pro-Israel, tampaknya menunjukkan bahwa Trump tidak akan memberikan solusi yang adil bagi warga Palestina di Gaza.

Hanya beberapa hari setelah terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-47, Trump langsung mengancam Hamas untuk segera membebaskan para sandera atau menghadapi “neraka”. Meskipun ia belum mengungkapkan strategi yang jelas mengenai upaya perdamaian yang akan ia lakukan di Gaza, ancaman Trump tidak memberikan kepercayaan terhadap kemampuan Amerika untuk menjadi perantara yang baik.

Mengingat hubungannya dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, ada harapan bahwa Trump dapat menekan Israel untuk melakukan gencatan senjata. Namun, yang terakhir sedang berjuang untuk mempertahankan posisinya dan jelas ingin perang terus berlanjut untuk mencapai tujuan tersebut.

Pemicu konflik

Sementara itu, persaingan AS-Tiongkok juga sedang mencapai puncaknya, terkait dengan berbagai permasalahan mulai dari ekonomi, perdagangan dan perselisihan di Laut Cina Selatan hingga Taiwan. Ketegangan ini menimbulkan potensi konflik baru, khususnya terkait Taiwan.

Melihat kembali masa jabatan pertamanya, Trump cenderung mengambil sikap agresif dan konfrontatif terhadap Tiongkok. Kita tidak melupakan bagaimana Trump melancarkan apa yang disebutnya perang dagang dengan Beijing, yang dampaknya dirasakan di seluruh dunia.

Situasi di Selat Taiwan juga memburuk dalam beberapa tahun terakhir, ketika Presiden Tiongkok Xi Jinping menekankan dalam pidato Tahun Barunya bahwa tidak ada yang dapat menghentikan Beijing untuk bersatu kembali dengan Taiwan. Tergantung pada sikap Trump, hal ini berpotensi memicu konflik terbuka antara Tiongkok dan AS.

Selain itu, Trump juga sangat memusuhi Iran yang merupakan musuh AS dan Israel di Timur Tengah. Serangkaian tindakan Trump selama masa jabatan pertamanya, khususnya keputusannya untuk memerintahkan pembunuhan Panglima Pasukan Quds Iran Jenderal Qassem Soleimani, telah secara signifikan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah, yang jika terulang kembali kemungkinan besar akan memicu perang yang lebih hebat lagi.

Trump bisa saja menerapkan langkah ini lagi pada masa jabatan keduanya, terutama mengingat dominasi Tiongkok yang semakin meningkat di berbagai bidang, seperti kendaraan ramah lingkungan.

Apapun langkah yang diambil Trump, ia harus menunggu peralihan kekuasaan dari pemerintahan Presiden Joe Biden. Apakah Trump akan menjadi pembawa perdamaian atau justru kebijakannya akan menimbulkan konflik baru di berbagai belahan dunia?

(dka)