Di kerajaan Majapahit, perkawinan antar kasta diatur secara ketat. Padahal, larangan tersebut tertuang dalam UU Kutara Manawa yang bisa berujung pada hukuman mati bagi seorang laki-laki. Menurut kaidah ini, perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai kedudukan yang sama.
Perkawinan warna menjamin kelangsungan warna karena tidak menyebabkan keburaman dan kerlipan. Gangguan tersebut terutama disebabkan oleh perkawinan antar kasta, khususnya perkawinan Pratiloma atau perkawinan antar kasta dalam istilah Sansekerta.
Pada masa kerajaan Majapahit, pernikahan Pratiloma tidak dilarang, namun tidak dianjurkan. Dalam perkawinan Pratiloma ini diperlukan persetujuan orang tua pihak perempuan yang disebut Javi Capete, seperti dikutip sejarawan Prof. Slamet Muljana.
Polisi Kutara Manawa mengatakan, jika bayi tersebut diperuntukkan bagi anak perempuan dari keluarga yang melahirkan, maka yang memintanya tidak boleh didenda. Namun jika ada seorang hamba yang tidak mempunyai keturunan, maka seorang gadis yang tinggi menunggunya untuk mencegahnya, dan gadis itu dipisahkan dari yang didoakannya.
Setelah itu, agar orang tua wanita tersebut dapat mendengarkan keterangannya. Jika menantu laki-laki pendek tidak diinginkan, maka laki-laki itu harus dihukum.
Sedangkan gadis ini dikembalikan kepada orang tuanya. Namun jika orang tua si gadis menyetujui, maka pihak laki-laki wajib membayar tukon atau mahar kepada ayah si gadis. Itu sebabnya nama gadis itu adalah Javi Capete.
Sedangkan poligami adalah perkawinan lebih dari satu perempuan dengan seorang laki-laki dan monogami adalah perkawinan lebih dari satu laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak diatur dalam undang-undang. Namun pernikahan poligami sepertinya diperbolehkan, mengingat banyak pejabat di kerajaan Majapahit yang mempunyai istri lebih dari satu.
Wanita tambahan ini biasa disebut selir. Misalnya saja pernikahan raja Majapahit Kertaraja Jayavardhana dengan empat putri Kertanegara dari kerajaan Singasar. Kutara Manava berulang kali menyebutkan poligami, misalnya pada ayat 215. Pasal ini menyebutkan bahwa seorang Brahman mempunyai empat istri.
(pilihan)