JAKARTA – Lanjutan kasus korupsi terhadap terdakwa Helena, Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan MB Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) digelar pada Kamis, 31 Oktober 2024. Saksi dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan. Direktur Jenderal Pertambangan dan Batubara (Dirjen Minerba) 2015-2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono.
Dalam persidangan, Bambang mengungkapkan, bijih timah yang ada di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tidak akan menjadi milik PT Timah jika biayanya belum dibayar. Hal ini terungkap saat Penasihat Hukum (PH) Riza mempertanyakan Pasal 92 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan dan Pemilikan Pertambangan Terkait Batubara.
Padahal dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya atau batubara, yang dihasilkan setelah biaya produksinya ditanggung.
Kuasa hukum Riza di Bambang bertanya, “Tidak ada biaya produksi atau royalti yang dibayarkan atas tambang timah yang diakuisisi masyarakat pertambangan. Apakah tambang atau timah tersebut sudah menjadi milik PT Timah?”
“Tidak kaya kalau tidak bayar royalti,” kata Bambang membenarkan bijih timah. Dalam IUP PT Timah yang tidak dibayarkan biaya produksinya, bukan milik PT Timah.
Pada tahun 2018 dan 2019, ketika PT Timah menggandeng perusahaan penyulingan swasta, memberikan kontribusi bagi negara. Nilainya masing-masing Rp 818 miliar dan Rp 1,198 triliun. Bambang mengatakan, royalti tersebut harus dibayarkan kepada negara oleh badan hukum yang sah.
“Kalau bayar royalti dan pajak harus punya nomor NPWP, artinya harus sah dan sah,” imbuhnya. “Jika itu ilegal, Anda tidak perlu membayar suap.”
Kerugian negara sebesar Rp26,649 triliun akibat pembayaran bijih timah ke mitra PT Timah tak sejalan dengan penjelasan Bambang. Sebab, bijih timah yang dimaksud belum dimiliki oleh PT Timah.
Sementara itu, Riza mengungkapkan pembelian bijih timah dari mitranya senilai Rp 26,649 triliun menambah pendapatan dua kali lipat. Pembelian bijih timah antara tahun 2015 hingga 2022 senilai Rp 26,649 triliun yang dipastikan menjadi kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sehingga menghasilkan pendapatan sekitar Rp 50 triliun bagi perseroan melalui penjualan logam timah. .
“Kalau kita lihat seluruh pendapatan bijih timah dari 2015 hingga 2022, semuanya logam. Logamnya dijual, pendapatannya kalau tidak salah 50 triliun,” kata Riza.
(Ar)