Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa tuberkulosis (TB) saat ini merupakan penyakit menular pembunuh nomor satu.
Kementerian Kesehatan RI sendiri mencatat jumlah kasus TBC di Indonesia akan meningkat menjadi 1.060.000 pada tahun 2023.
Dokter Spesialis Paru RSPI Bintaro, Dr. Dr Raden Rara Dayah Handyani mengatakan, Anak-anak merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terkena TBC.
Pasalnya, anak memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan mudah sakit. Begitu pula dengan anak di bawah usia 5 tahun yang bisa terkena TBC.
Dr dr mengatakan: Pada orang dengan imunitas yang baik, sebaiknya dilakukan profilaksis agar tuberkulosis tidak berkembang lagi. Dayah, dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (18/11/2024).
Lalu pencegahan seperti apa yang harus dilakukan masyarakat, termasuk penderita TBC? Berikut adalah beberapa di antaranya. 1. Pengobatan profilaksis tuberkulosis (TBT)
WHO merekomendasikan anggota keluarga yang tertular atau mengidap infeksi TBC laten untuk mendapatkan pengobatan pencegahan TBC (TPT) berupa berbagai obat dan vaksin.
Misalnya rifampisin dan isoniazid selama 3 bulan (disebut 3HP) atau 1 bulan penuh (1HP), atau INH 6 bulan atau INH rifampisin 3 bulan (3 HR). 2. Terapkan pola hidup sehat
Selain pencegahan dengan TPT dan vaksinasi, pemeliharaan kesehatan secara aktif juga penting, lanjut dr Daya.
Ia mengatakan, misalnya dengan mencukupi kebutuhan gizi, berhenti merokok, istirahat yang cukup, dan mengendalikan penyakit penyerta terutama diabetes dan HIV, dengan pengobatan yang cukup dan olahraga yang teratur. 3. Pemberian obat yang aman bagi pasien
Panduan pengobatan TBC juga banyak hal, seperti menjaga kesehatan tubuh dengan nutrisi yang tepat.
Terkait peresepan obat imunomodulator atau imunomodulator, ahli farmakologi molekuler Prof Raymond Tjdrawinata memaparkan hasil uji klinis imunomodulator pada pasien tuberkulosis paru.
Uji klinis imunomodulator Stimuno dari tanaman marigold hijau (Phyllanthus niruri) pada penderita tuberkulosis paru dilakukan oleh beberapa ahli. Parameter efikasi dipantau melalui perbaikan klinis (konversi BTA sputum) dan perbaikan radiologis (radiografi dada).
“Stimuno juga masuk dalam formula obat herbal yang diterbitkan Kementerian Kesehatan. Uji klinis Stimuno pada pasien tuberkulosis paru dilakukan oleh beberapa dokter spesialis. Raymond.
Lanjutnya, para ahli melakukan uji klinis dengan parameter efikasi yang dilihat dari perbaikan klinis (konversi BTA dahak) dan perbaikan radiologi (rontgen dada).
4. Terapi obat
Secara statistik, Imunomodulator Stimuno mempunyai efek klinis yang besar yaitu. pasien tidak akan menjadi sumber penularan tuberkulosis paru di lingkungan dengan mengubah dahaknya menjadi BTA.
“Selanjutnya diamati peningkatan imunitas pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa imunomodulator ini bekerja sinergis dengan terapi obat TBC untuk mencapai pemberantasan patogen,” jelas profesor tersebut. Raymond yang juga Direktur Pengembangan Bisnis dan Keilmuan Dexa Group. 5. Pilih obat untuk penggunaan jangka panjang
Selain itu, Prof Raymond mengatakan, pasien TBC juga disarankan untuk menjalani terapi obat yang tidak memiliki efek samping berarti bila digunakan terus menerus selama 6 bulan.
(H)